Bab 80

54 4 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"Dek, kenapa kamu bersikap berlebihan gitu ke Mira? Meski kamu membencinya, tapi setidaknya kamu nggak perlu paksa dia buat datang ke pengadilan agama. Dia kan lagi sakit."

Firman tampak memelas begitu diiingatkan kakaknya. Memilih untuk tidak menoleh, walau Andini terus meracau tentang Mira. Rasanya sungguh malas membahas si benalu. Mira tetaplah benalu dan beban, yang akan selalu dia ingat.

"Dek, kamu nggak usah terburu-buru begitu." Andini memegang  bahu adiknya, berusaha menenangkan Firman. "Ingat, proses perceraian itu butuh waktu yang panjang. Nggak mungkin langsung sat set langsung resmi pisah. Banyak prosesnya loh, dek."

"Aku tahu," sela Firman masih belum meredakan amarahnya. "Aku tahu prosesnya panjang. Tapi kalau Mira terus saja mangkir, bisa lebih lama lagi kami pisah. Aku tuh maunya dia bisa kooperatif gitu."

"Mira sakit. Kamu jangan paksa dia terus." Andini sedikit meninggikan suaranya agar Firman dapat mendengar.

"Betul, nak. Kamu nggak boleh egois, memaksakan kehendakmu buat pisah dari Mira." Heru menimpali.

"Mira butuh waktu buat sembuh dan jika kamu memaksa, bisa drop kondisinya, nak." Nindya–si ibu ikut berucap, melarang Firman tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

"Sakitnya juga nggak seberapa, malah kalian terus kasihani dia. Apa spesialnya?" gerutu Firman membuang napasnya.

"Ayah, kita langsung pulang aja, biarkan Firman istirahat. Toh kakinya juga belum pulih." Andini meminta, langsung dibalas Firman dengan helaan napas berat seakan tidak menerima.

"Kak, tidak bisakah kita nunggu dulu? Siapa tahu Mira bohong. Kita udah jauh-jauh loh ke sini, terus nggak ada hasilnya? Kita cuma buang-buang bensin, tahu nggak?"

"Kakak bisa beli bensin lagi buat mobilnya ayah. Udah, udah. Kamu jangan menggerutu terus." Andini kini bersikap tegas sebab tahu sikap adiknya sungguh kelewat batas. Beruntungnya Firman sungguh mendengarkan dan mengatup mulut sepenuhnya–mungkin takut terhadap Andini yang lebih tua darinya.

"Ayah, ayo jalan." Andini menepuk kepala jok Heru, meminta sang ayah untuk cepat-cepat meninggalkan lokasi. "Ah, nanti Ibu singgah ke supermarket kan?"

Nindya membalas dengan anggukan.

"Andini temenin ya. Soalnya ada yang Andini beli soalnya."

"Baiklah, nak." Heru menjawab mewakili Nindya.

Mobil abu-abu milik Heru yang sedari tadi terparkir di halaman depan kantor PA pun langsung melaju ke arah kanan untuk mencari palang keluar. Begitu meninggalkan kantor, barulah kendaraan roda empat tersebut menambah kecepatan agar mengefisienkan waktu.

***

Mira berkonsentrasi mengerjakan sesuatu di tablet miliknya. Entah ini rejekinya sebagai ibu hamil atau faktor lain, tiba-tiba Mira dihubungi oleh klien setianya untuk menyelesaikan suatu projek. Karena kata kliennya, orang yang dipercayai melakukan tugas yang seharusnya justru mangkir, sehingga Mira-lah satu-satunya yang diandalkan. Beruntung pula Mira setuju karena dia sungguh membutuhkan penghasilan. Sisa-sisa yang ada di rekening malah kebeli buat kebutuhannya, termasuk susu formula yang dia beli kesekian kalinya.

My Temporary TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang