Dua : Peringatan Beliung

121 25 15
                                    

Musim Dingin, Kyoto.
22 Januari 1980.

Dingin, bingung, dan kaku. Semua perasaan bergabung menjadi satu, laksana butiran salju yang membeku di pelataran rumah besar itu. Rumah besar yang ditempati oleh pria pemilik netra biru sapphire yang sedang duduk termenung entah memikirkan apa.

Sedari tadi, tangan pria muda itu sibuk menorehkan goresan tinta pada buku tua yang terletak diatas meja. Sesekali, jemarinya mengetuk-ngetuk pada meja cokelat berbahan kayu jati tempatnya sehari-hari belajar. Lembar demi lembar ditulis, kanji demi kanji ia torehkan pada kertas cokelat itu.

"Taufan-san, okite!" [Taufan, bangun]

"Hai, hai! Nani shiteru no?" [Iya, iya. Ada apaan, sih?]

Suara tinggi dan menyebalkan bagi pria bernama Taufan itu sudah terdengar. Jarinya yang semula sibuk mengetuk meja, kini berubah menjadi kepalan. Kertas yang sedang ia tulis langsung dihancurkan dan dirobeknya asal.

Dengan gontai Taufan berjalan menuju pintu kamar. Dibukanya pintu itu, dan ia menemukan sesosok wanita yang tak ia sukai. Oba-chan dan drama basa-basi jelek miliknya. Wanita itu kini telah muncul didepan pintu kamarnya dengan nampan yang berisi semangkuk nasi yang sudah diaduk dengan telur omega, sup miso, dan segelas teh hijau hangat.

"Ini sarapanmu, makanlah!"

"Arigatou," [Terimakasih]

Angin salju dingin itu semakin menyeruak, Taufan menyambut nampan dari wanita yang tak ia sukai tersebut. Netra biru sapphire miliknya berputar sejenak, mendapati sosok bayangan hitam yang entah darimana datangnya. Beberapa saat kemudian, Taufan kembali menatap kearah wanita yang membawakannya sarapan itu dan kemudian ia menghela nafas kasar.

Sebuah helaan nafas pertanda lelah, dan rasa sakit yang hidup tanpa seorang teman, dan bahkan hiburan. Kerennya, kita sebut hal itu dengan nama: mati rasa.

Ditutupnya kembali pintu kamar itu dengan kakinya. Kemudian, pria itu berjalan mendekati meja yang ia gunakan untuk menulis tadi. Diletakkannya nampan itu, dan disantapnya lagi hidangan itu sampai habis. Tamago Kake Gohan memang selalu lezat bagi orang Jepang, tapi.. apakah harus sarapan dengan telur mentah setiap hari?

Sarapan itu habis. Pria pemilik nama Taufan Murase itu segera membersihkan peralatan makannya, merapikan kembali alat tulis miliknya, dan bergegas untuk mandi. Membersihkan apapun jenis kotoran yang melekat ditubuhnya. Tidak perlu dijelaskan. 15 menit adalah waktu yang cukup baginya untuk melakukan aktivitas tersebut.

Setelan standar baju sekolah SMA. Kemeja hitam dan celana hitam terbalut menawan ditubuhnya. Di Jepang, seragam sekolah SMA untuk siswa lelaki umumnya terdiri dari atasan berupa jas seragam berwarna gelap seperti biru atau hitam, dengan garis-garis putih atau abu-abu sebagai detailnya. Jas ini biasanya dipadukan dengan celana panjang berwarna gelap dan dasi berwarna yang serasi. Pola seragam ini cenderung mengikuti pola tradisional dengan sentuhan modern yang minimalis dan rapi, dan dapat mencerminkan nilai-nilai disiplin, kesopanan, dan keseragaman diantara para siswa.

"Bisa-bisanya wanita jelek itu mengirimku ke Asrama. Padahal, ambisi itu sirna termakan gelapnya realita yang menyakitkan!" rutuk Taufan dalam hatinya. Sesekali, ia memutarkan pandangannya kearah luar. Mentari sudah semakin naik. Sepertinya sudah sedikit sekali waktu yang tersisa, "Tapi aku bersyukur karena tidak perlu bertemu lagi dengan Oba-chan. Wanita munafik yang tak mau memberitahuku apapun tentang segala hal. Membiarkan hidupku menempel dengannya adalah suatu dosa besar."

Arloji yang terpasang dipergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul 08.00. Waktu yang sangat pas dijadwalkan untuk berangkat menuju terminal Bus utama Kyoto yang terletak ditengah Kota.

Kuchisake-Onna: 口裂け女 [ Boboiboy ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang