Kamar bernuansa putih itu terdapat seorang perempuan di dalamnya. Tangannya sibuk menyapu seluruh ruangan. Bersih-bersih diwaktu sore adalah kegiatan rutinitas yang dilakukannya setiap hari.
Ia bergerak untuk membersihkan setiap sudut lantai dan membuang seluruh debu ke luar area rumah.
Selesai dengan menyapu, tangannya kembali melakukan aktivitas mengepel lantai. Di area dapur terdengar bunyi pisau yang beradu dengan talenan menandakan si ibu sedang memotong bahan masakan.
"Mom, selang air di depan kok gak bisa keluar air?" tanyanya pada sang mamah.
"Coba cek paralon di samping Cha, kali aja belum dibuka."
Ocha si pemilik nama langsung bergegas ke samping rumah. Dilihatnya paralon panjang yang menjalar di dinding rumah kemudian membuka penutup salurannya.
Kegiatannya setelah mengepel rumah adalah menyiram tanaman. Halamannya cukup luas sehingga dipergunakan untuk menyimpan pot-pot tanaman.
Ocha mengambil selang air kemudian mulai menyiram satu per satu tanaman di depan rumahnya.
"Cewek.."
Mata Ocha yang tadinya fokus ke aliran air terangkat untuk mencari sumber suara. Dilihatnya pria tampan yang sedang duduk dikursi teras rumahnya. Evan namanya.
Pupil Ocha membesar, jantungnya berdegup dengan kencang. Otomatis sebuah senyuman tersungging dibibir tipisnya.
"Sori bang, saya gak punya receh."
Evan terkekeh. Kakinya melangkah memasuki pekarangan rumah Ocha yang kembali fokus pada kegiatannya.
"Sendirian aja, nih?"
"Enggak, ditemenin selang air."
Lagi-lagi Evan terkekeh.
"Dateng kapan lo?" Evan bertanya dengan tatapan yang tertuju pada Ocha.
"Kemarin malem."
"Kok, gue baru liat? Kenapa juga gak ngasih tau."
"Kan, gue baru keluar. Lagian ngapain juga ngasih tau lo." Ocha menjawab dengan nada yang sedikit disewot-sewotkan.
"Ya kan gue kangen, gimana sih." Devan menjawab dengan santuy-nya.
Aish ... apa-apaan mulut lemes itu, batin Ocha berteriak.
Seseorang tolong! Jantungnya sedang tidak baik-baik saja. Lama-lama dia bisa kena serangan jantung ini. Agaknya berbicara dengan Evan yang jago gombal ini tidak baik bagi kesehatan batiniah-nya.
"A-apasih. Kalo ngomong sembarangan." Sewot Ocha.
Sambil membalikkan badannya untuk menyiram tanaman kembali, Ocha diam-diam mengulum senyum dengan bibir yang digigit kecil.
Evan tersenyum melihat tingkah lucu Ocha. Kakinya berjalan mendekat ke samping Ocha. Secara tiba-tiba, Evan mengambil tangan Ocha yang memegang selang dan menuntunnya untuk bersama-sama menyiram beberapa pot yang tersisa.
"Harusnya yang disiram itu pot-nya dong, Cha. Lo malah nyiram rumput lagi, gak jelas."
Badan Ocha kaku.
Nafasnya tertahan.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Posisinya saat itu terlihat seperti Evan memeluknya dari belakang. Perempuan mana yang gak baper coba?
Tersadar dari lamunanya, Ocha langsung saja mendorong Evan dengan sikunya supaya menyingkir.
"Ihh, gak sopan peluk-peluk anak orang." Kata Ocha dengan perut mulas kegirangan.
"Siapa juga yang meluk. Pengen banget gua peluk emang? Sini, sini," balas Evan sambil merentangkan tangannya.
Ocha mendelikkan mata. Spontan tanganya terangkat menyiram Evan dengan watadosnya.
"Anjing! Cha, yang bener aja dong. Jadi basah, kan gue," kesal Evan dengan rengutan dimukanya.
Ocha melongo tidak sadar dengan kelakuannya. Melihat keterdiaman Ocha, dengan cepat Evan mengambil alih selang dan balik membalas menyemprotkan air ke muka Ocha. Sontak saja ia gelagapan.
"Ah, sakit Evan. Masuk ke idung, ish," rengek Ocha sambil mengusap-usap mata kiri dan kanannya.
Aliran keran dimatikan oleh Evan. Kemudian menaruh selang dengan asal.
"Mana sini gue liat." Evan mendongakkan kepala Ocha agar menghadapnya.
"Lagian, siapa coba yang duluan nyiram orang sembarangan."
"Ya kan gak ke muka jugaa ..."
"Iya, iya, maaf. Gue gak tau kalo bakal masuk ke idung," Evan berkata sambil mengusap-usap wajah Ocha dan merapikan rambutnya.
Ocha diam saja. Melihat ketampanan Evan dari jarak yang dekat ini membuat dirinya berpikir, nikah pake adat apa, ya?
Eiyy ... lihat teman-teman betapa baperan-nya seorang Ocha.
Tepukan dipipi kanannya membuat Ocha tersadar dari 'kehaluan' yang mulai merambat sampai, punya anak berapa ya?
"Ocha."
Dengan linglung si empunya menatap kembali dengan fokus yang normal.
"Ganteng ya, gue?" tanya Evan dengan muka tengilnya sambil menaik-turunkan alisnya.
"Pede gile," balas Ocha pura-pura jijik. Padahal dalam hati ia menjerit, iyaa! Pake nanya lagi lo!
Selesai dengan kegiatannya, Ocha merapihkan selang air dan menaruhnya di tempat yang disediakan. Evan yang merasa diabaikan tersenyum dengan mata yang terus memindai apapun yang dilakukan tetangganya sehingga membuat Ocha risih dan salah tingkah dibuatnya.
"Lusa mau ikut gak?"
Yang ditanya mengerutkan kening bingung, "kemana?" jawab Ocha.
"Main, ke Perum IPS. Banyak jajan tau disana. Kali aja lo suntuk di rumah makanya gue ajak main. Biasanya 'kan anak cewek suka banget jajan angkringan."
Anak cewek, ya? Berarti dia sering dong jalan sama cewek? Sampai hapal banget kebiasaan anak cewek. Eh, tapi ngapain juga gue peduli, batin Ocha dalam hati.
Suka sendirian ternyata se-nyesek ini, ya?
"Boleh, jam berapa?"
"Jam 7 pagi gimana? Enakin tuh sambil sarapan bubur dis--" obrolan mereka terpotong kala nada dering dari handphone Evan berbunyi.
"Bentar gue angkat dulu."
Ocha terdiam memperhatikan Evan yang perlahan berjalan menjauh dengan telepon genggam di telinganya.
"Main aja nanti ke sini, ada mamah kok."
Samar-samar kata itu terdengar dipendengarannya.
Tersadar dengan kelakuannya, Ocha buru-buru beranjak menaruh selang dan kembali masuk ke dalam rumah. Waktu sudah beranjak sore jadi dia butuh membersihkan diri.
***
gatau bingung, pengen beli trukk.
KAMU SEDANG MEMBACA
M R B L A C K F L A G
Teen Fiction18+ || Toxic relationship Jatuh cinta emang nyenengin, tapi kalau sebelah pihak doang? Namanya bukan jatuh cinta. Jatuh doang, dan pastinya ... sakit. .. "Cewek bego! Tolol emang! Mau aja suka sama orang yang gak suka sama dia." "Lo tuh sebelas." "A...