51.

34 8 8
                                    

Sidang kedua kasus penembakan massal yang dilakukan oleh Jakhangir Yalkun kembali digelar. Widi sudah duduk di antara keluarga korban yang hadir. Dari kursinya, Widi memerhatikan interaksi Jakhangir dan Ernest. Terlihat jika Ernest menatap penuh simpati pada kliennya. Widi jadi cemas. Ia takut jika hukuman yang diterima Jakhangir tak sebanding dengan perbuatan keji yang dilakukan.

Ponsel dalam saku Widi bergetar. Nama Sarah muncul pada layar. Dengan cepat Widi menjawab panggilan putrinya.

“Halo, Sarah. Ada apa?”

“...”

“Kamu mau pulang sore ini?”

“...”

“Tentu boleh. Tapi kenapa? Ini kan belum liburan.” Fokus Widi terbagi saat seorang polisi menepuk bahunya. Polisi berkulit hitam itu memberikan isyarat agar Widi diam dan menunjuk ke arah hakim yang memasuki ruangan. Widi mengangguk mengerti. “Oh, oke. Nanti aku telepon lagi. Sampai jumpa, Sarah.”

Widi menutup telepon dari Sarah dan menyimpan kembali ponsel dalam sakunya. Raut wajahnya berubah saat menyadari sesuatu.

“Tadi Sarah bilang apa, ya?” gumam Widi.

Tak lama setelah hakim duduk, sidang kedua Jakhangir Yalkun pun dimulai. Hari itu hadir beberapa ahli yang akan memberikan keterangan setelah memeriksa kondisi kejiwaan sang terdakwa. Tiga orang ahli yang merupakan psikiater mengungkapkan jika pria itu memiliki gangguan stres pasca trauma dan gejala psikotik khas skizofrenia. Satu orang psikiater menyatakan  bahwa  Jakhangir Yalkun tetap dapat menjalani hukuman penjara. Namun, kedua psikiater lainnya lebih merekomendasikan agar Jakhangir Yalkun ditempatkan di institusi kesehatan mental milik negara agar mendapatkan perawatan lebih jauh

Raut wajah kecewa ditunjukkan oleh para keluarga korban. Bukan hukuman penjara, apalagi ditempatkan di fasilitas kesehatan mental yang mereka harapkan. Mereka hanya ingin Jakhangir Yalkun diberikan hukuman mati atas segala hal yang sudah dilakukannya. Suara-suara yang meminta hal ini semakin terdengar. Ruang sidang menjadi berisik. Hakim sampai memberi peringatan agar para hadirin tenang kembali atau mereka akan dikeluarkan secara paksa dari sana.

Suasana ruang sidang kembali hening, walaupun aura ketegangan masih terasa. Hakim akhirnya memutuskan untuk menunda sidang selama satu jam.

Widi mampir ke sebuah kafe dekat pengadilan. Sambil menikmati kopinya, ia memerhatikan beberapa keluarga korban yang berada dalam satu meja. Dari hasil mencuri dengar, Widi tahu kalau mereka akan melakukan banding jika putusan yang hakim buat malah meringankan hukuman Jakhangir Yalkun.

Apa mereka enggak capek begini terus? – Widi

Sepuluh menit sebelum sidang lanjutan dimulai, Widi sudah kembali duduk bersama para keluarga korban. Hakim datang tepat waktu, membuka kembali sidang. Pembacaan keputusan juri dilakukan. 19 banding 4, juri membebaskan terdakwa dari tuntutan. Mereka menyatakan terdakwa tidak bersalah. Namun, hakim tidak membebaskannya begitu saja. Karena dianggap berbahaya, hakim mengirim Jakhangir Yalkun untuk dirawat di fasilitas kesehatan mental. Banyak keluarga korban yang merasa ini tidak adil. Mereka mulai ricuh. Setelah semua selesai, hakim menutup sidang hari ini.

Widi melihat betapa brutal keluarga korban yang berusaha menyerang Jakhangir Yalkun. Untung saja pria itu segera diamankan oleh polisi yang hadir di sana. Ia dibawa bersama kuasa hukumnya.

Dengan sesak yang tiba-tiba melanda, Widi perlahan menghapus air matanya yang tak sengaja tumpah. Ia menuju toilet pengadilan dan segera masuk ke dalam sebuah kubikel yang kosong. Kemudian menutup tutupan toilet agar bisa duduk di sana. Dari dalam ia mendengar beberapa orang yang membicarakan keputusan sidang. Ada yang puas, ada yang tidak puas, disertai dengan alasan mereka.

His Love 3 🌈Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang