Halooo gaysss I'm kombekk, otak ku lagi jalan pliss seneng banget 😭 yaudahlah gas baca aja! Let's go! Oh iyaaaa jangan lupa vote komen dannnnnnnn follow okai
.
.
.-HAPPY READING-
Siang ini cukup panas, ah ralat sore ini maksudnya. Awan dan Kafka sedang berlatih voli untuk pertandingan bulan depan, tim mereka sudah kalah 2 kali pertandingan, mereka tidak mau kalah untuk yang ke tiga kalinya, mereka harus menang kali ini, atau mereka harus terpaksa membayar uang yang harus sekolah keluarkan di dua kali pertandingan kemarin, sungguh kejam!
Mereka tengah beristirahat di tepi lapangan, begitu juga Awan dan Kafka. Kafka membaringkan tubuhnya di dekat Awan duduk, "Kafka, selain Lo suka voli Lo suka apa lagi?"
"Salma"
Awan merotasi matanya malas, sudah terprediksi sebentar lagi kedua temannya ini akan menjadi bulol. "Yayaya, terserah Lo!"
"Wan, Lo mau jadi apa nanti?" Tanya Kafka, tapi matanya masih setia terpejam
"Eum, gue bingung. Kalo Lo Kaf?"
"Gue suka galaksi, bintang-bintang, planet dan lainya. Gue suka banget, maka dari itu, gue mau jadi astronot. Gue mau pergi keluar angkasa, mengamati indahnya karya Tuhan" Kafka membuka matanya, dan menatap Awan, terlihat Awan yang sedang berfikir
"Berarti gue harus tau gue suka apa? Iya? Biar gue tau gue mau jadi apa?" Tanya Awan terlihat polos sekali
"Hm, maybe yes." Kafka mengedikan bahunya acuh
"Yaudah, Karna gue suka, bareng bareng sama Lo! Gue mau jadi astronot juga!" Kafka mendudukan dirinya, lalu menoyor kepala Awan pelan
"Bego! Itu bukan pilihan Wan namanya, pilihan tuh murni datang dari hati Lo" Awan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan,
"Iya, gue mau jadi astronot! Titik, gue mau selalu jadi patner Lo! Gue mau terus sama Lo" ungkapnya, mendengar itu seketika pikiran Kafka menjadi ambigu sendiri
"Jangan kaya homo deh, Wan." Sarkas nya, sambil menatap Awan tajam
"Apaan anjir! Gue masih suka cewek ya tot, mau gue kemanain Nasya?" Emosinya, apa-apaan Kafka ini, memikirkannya saja sudah membuat ingin muntah. Apa lagi melakukannya
"Gue, cuma gak mau kita berjalan ke arah yang beda. Gue sayang sama Lo SEBAGAI TEMAN! Gue gak mau, kita jadi gak bisa bareng-bareng lagi, apalagi sampe asing, gak gue gak mau."
Kafka menepuk pundak Awan pelan, menatapnya penuh dengan ketulusan. "Wan, dengerin gue! Gue gak bakal ninggalin Lo! Kita sama-sama berproses oke, gue, Salma, dan Lo! Kita bakal sama-sama terus percaya sama gue." Entahlah Awan agak trust issues, takut janji hanya sebagai penenang dan selebihnya omong kosong, Awan yakin Kafka tidak akan meninggalkannya. Tapi sedikit takut? Bukan masalahkan?
"Iya, gue percaya. Gue mau jadi astronot, bukan karna Lo semua juga, gue pikir kalo gue berada di angkasa nanti, gue bakal ngerasa lebih deket sama mamah."
.
.
.Seorang pria tua, tengah terkapar lemas di atas brangka. Beberapa perawat juga mendorong brangka tersebut, memasuki ruang UGD. Banyak darah yang keluar, membuat baju yang dikenakan pria tersebut berlumuran oleh darah.
Dokter yang tengah berjaga, di UGD tersebut menghampiri salah satu perawat, sebelum dokter itu bertanya, perawat wanita itu sudah menjawab. "kecelakaan tunggal dok, menabrak pembatas jalan." Dokter tersebut mengangguk, dan langsung memasuki ruang UGD
.
.
.Kafka, Awan dan Salma. Sedang bermain di pasar malam, mengingat Karna hari ini Kafka dan salma telah resmi menjalin hubungan, jadi mereka mau sedikit merayakannya.
Sudah banyak wahana yang mereka naiki, tidak terlewat satupun. Pokoknya malam ini harus bersenang-senang tanpa memikirkan apapun titik.
"Hahahah, gue seneng banget bisa main-main sama kalian berdua. Semoga, masa kita gak akan pernah abis ya." Ucap Awan, menatap kedua sahabatnya itu
"Amin, gue juga gak mau pisah dari dua cecurut gue ini!" Ucap Salma riang
Mereka berdua sudah berada di parkiran, berniat pulang, pertama-tama mereka berdua harus mengantarkan Salma dulu baru mereka berdua pulang.
"Eh, tunggu-tunggu. Ada telpon" ucap Awan, lalu menekan tombol jawab
"Halo?"
"...."
"Jangan becanda!"
"...."
"O-oke oke saya kesana sekarang."
Awan menatap Kafka, matanya sudah mulai berkaca-kaca. Kafka yang tak tahu menahu pun sedikit takut, takut ada hal buruk yang terjadi. Tanpa aba-aba Awan memeluk Kafka, dan menumpahkan tangisnya,
"Papah, Kaf! Papah!" Oke sekarang Kafka mulai sedikit khawatir, badannya sedikit bergetar takut
"Kenapa sama, papah Galih Wan! Ngomong yang bener." Sentak Kafka pelan
"Papah, kecelakaan.... Gue takut kaf! Kaf gue harus apa?!" Melihat Awan yang panik, Kafka juga ikut merasa tidak nyaman, otaknya menolak bekerja.
"Udah, jangan nangis. Sekarang kita ke rumah sakit, ayo Kaf, Wan. Jangan buang waktu." Awan dan Kafka mengangguk, iya mereka harus segera menemui papah Galih!
.
.
.Mereka bertiga berlari menyusuri koridor, berlari seperti kesetanan, tidak memperdulikan orang-orang disekitar mereka yang menegur mereka karna berlarian. Pikiran mereka hanya harus segera sampai di UGD dan menanyakan kabar papah Galih!
Tidak lama setelah mereka sampai UGD, seorang dokter keluar dari ruangan tersebut. "Apakah ada dari keluarga pasien?"
"Kami anaknya!" Dokter itu mengangguk pelan, baru saja dia mau menjelaskan kondisi Galih. Ada tangan yang menggenggamnya
"Om Abisma" Abisma menoleh melihat, tetangganya seperti habis menangis "Kafka?! Kafka kamu kenapa?!"
Kafka menggeleng ribut, "om Abisma, selametin papah Galih, om." Kafka kembali menitihkan air mata, Awan juga tak kalah menyedihkan kondisinya. Sementara Salma? Dia juga menangis tapi tak se histeris kedua sahabatnya, Salma mengelus punggung Awan yang bergetar.
"Tenang dulu, oke?" Kafka mengangguk tapi air matanya terus mengalir deras, dia sungguh takut kehilangan papah Galih, dia sudah jadi bagian dari kehidupannya.
"Pasien, kehilangan banyak darah-" belum selesai dia berbicara, Kafka mengencangkan isak tangisnya
"Kafka tenang dulu." Om Abisma, membawa Kafka kedalam pelukannya, dia tau perasaan Kafka, sekarang. Dia juga pernah berada di kondisi ini,.
"Pasien kehilangan banyak darah, sehingga. Kami membutuhkan pendonor darah segera, golongan darah pasien, A dan stok dara itu sedang kosong dirumah sakit ini."
"Kafka, mau donor om! Golongan darah Kafka sama kaya papah Galih." Abisma melepaskan pelukannya, dan menatap Kafka penuh tanya. Apakah benar?
Kafka mengangguk yakin. "Ayo, om."
"Baiklah, ayo ikut saya biar saya periksa, kesehatan kamu dulu, kalo semisalkan kondisi kamu, bisa untuk mendonor, saya akan mengambil darah kamu."
.
.
.Shiaaa, aku cinta sekali sama kalian. Mwehehehe, semoga cepet tamat nih cerita. Saya mau bikin cerita baru soalnya wkwkkwkw, oh ya gess maap typonya okei
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Takdir [On Going]
Fiksi RemajaMemiliki keluarga yang utuh, adalah impian semua anak. Namun, apakah setiap yang utuh akan selalu teguh? Keluargaku memang utuh. Namun, sudah runtuh. Lantas mengapa aku harus ada di bumi ini? Jika hanya untuk, melihat kehancuran diri sendiri *SEGERA...