12. call with ibu

55 4 0
                                    

Haloooo, reting seberapa rajin aku up!!!!!!  Tersisaaaa 9 bab terakhir lagiiiiiiiiiiii huhuhu semoga sanggup sanpe terakhir, takut kaya buku satunya sebenernya draf aku ada 3 ceritaa wkwkkkwkw, tapi belum di isi sih, baru nulis alur di dalem nya

.
.
.

-HAPPY READING-

Paginya tubuh Kafka belum juga pulih, suhu tubuhnya masih sama seperti semalam. Abisma yang notabenenya seorang dokter pun, sedikit kewalahan dan panik, suhunya mencapai 38°

"Kaf, sarapan dulu. Bisa makan sendiri kan?" Tanya Abisma yang di angguki Kafka

Abisma mengganti plester demam yang Kafka gunakan, meski Kafka adalah orang baru di kehidupannya, dia sudah menganggap Kafka sebagai adiknya sendiri. Dari dulu dia ingin sekali memiliki saudara, sampai umurnya 30 tahunpun gak pernah dikasih, lah ya iya Lo udah 30 tahun masih pengen punya dedek gemes dari emak Lo? Lebih cocok jadi uncle!

"Om, tau hp Kafka dimana?" Tanyanya disela-sela memakan bubur polos itu.

"Jangan pegang hp dulu, nanti tambah pusing. Udah tunggu sembuh dulu, baru nanti saya kasih hp kamu." Kafka berdecak kesal, bagaimana dia bisa mengetahui keadaan pacar dan sahabatnya? Dia juga semalam belum pamit pulang sama Awan, takut malah Awan khawatir.

"Udah, gak usah mikirin temen-temen kamu. Udah saya kabarin mereka berdua, mereka juga bilang, tolong jagain Kafka dulu ya om, kami belum bisa kesana. Gitu, katanya." Kafka tampak berfikir sejenak, meraba-raba apa kah dia harus menghubunginya? Atau tak usah?

"Om, Kafka mau telpon ibu. Kafka kangen ibu, om."

"Hhhh, baiklah. Pakai hp saya dulu aja kalo gitu, kamu hafal kan nomornya?" Kafka mengangguk mengiyakan, memangnya hpnya kemana? Sampe harus menggunakan hp Abisma dulu?

Abisma menyerahkan handphonenya, setelah di serahkan. Kafka langsung mengetikkan nomor ibunya, dia rindu suara merdu itu. Suara yang dulu selalu memarahinya karna dia nakal, tapi sekarang jarang sekali Kafka dengar.

Tut... Tut...

"Halo? Siapa ini?"

"Ibu.... Kafka, Bu" suara Kafka tampak sedikit mengecil, bisa dibilang lirih.

"Oh, kamu pake nomor siapa? Trus kenapa telepon ibu?"

"Pake, nomornya om Abisma" Abisma hanya bisa menatap was-was, takut ada kalimat menyakitkan yang keluar. Kafka sedang sakit, takut tertekan dan makin drop!

"Siapa, dia? Tetangga?" Kafka berdeham pelan merespon nya,

"Kenapa nak? Kafka butuh sesuatu? Uang Kafka habis? Atau jangan-jangan, handphone Kafka rusak? Mau ganti?"

"Enggak Bu.... Kafka, Kafka. Kafka sakit Bu.... "  Kafka sedikit ragu menyatakannya, entahlah sejak saat hubungan mereka merenggang ada rasa canggung yang terus menerus menghantui mereka

"Astaga, Kafka kenapa bisa sakit? Jangan capek-capek nak. Trus sekarang Kafka sana siapa? Kafka sendiri dirumah? Kafka bisa jaga diri sendiri? Atau mau ibu panggilin orang buat temenin Kafka?"  Kafka menggeleng pelan, bukan orang lain yang dia mau, tapi ibu yang dia mau!

"Kafka, sama om Abisma Bu.... "

"Kafka, tolong kasih handphonenya ke om Abisma itu, ibu mau bicara sebentar" kafka mengiyakan permintaan ibunya, menyerahkan handphone itu ke pemiliknya. Sementara Abisma yang sudah paham maksud Kafka langsung menempelkan handphonenya ke telinga

"Ya? Ada yang bisa saya bantu?" Ucap Abisma,

"Eum, begini pak. Saya minta tolong ya, jagain Kafka dulu? Saya benar-benar tidak bisa, untuk pulang ke Indonesia. Kafka gak pernah lama kok pak kalo sakit, cuma agak sering gelisah anaknya. Saya minta tolong banget ya pak? Kafka gak punya sodara disana."

"Iya, Bu. Tanpa ibu minta saya juga akan menjaga Kafka, jangan terlalu sibuk bekerja Bu, anak ibu juga ingin punya waktu bersama."

"Hm, iya pak. Tolong kasih handphonenya ke Kafka lagi, saya mau pamitan dulu."

"Nih, ibu kamu mau pamitan katanya"

"Kok, cepet banget Bu? Kafka masih kangen ibu." Ucapnya bersuara lemah, lebih tepatnya menahan suara bergetar ingin menangis

"Maaf, ya nak. Cepet sembuh ya? Jangan sakit-sakit, maaf ibu belum bisa jadi ibu yang baik.... Cepet sembuh, jangan terlalu banyak pikiran ya?" Sambung telepon dimatikan sepihak oleh Kafka, entah mengapa rasanya ingin sekali menangis, entah itu karna bahagia ibunya berbicara sedikit lama untuknya atau? Karna.... Dia kecewa?

"Sudah, jangan manangis! Laki-laki kok nangis! Cengeng, udah nih minum obatnya. Trus, istirahat lagi. Biar cepet sembuh, saya mau mandi dulu." Ujar om Abisma, terkesan mengejek sih. tapi Kafka merasa itu menjadi motivasi untuk tidak menangi, entahlah dirinya sudah seperti cewek yang moodnya naik turun wkwkkw

.
.
.

"Om, apa alasan om, baik sama Kafka?" Kafka sangat teramat heran, pasalnya mereka baru saja kenal kurang dari satu tahun sangat kurang! Mengapa dia bisa sebaik ini?

"Entahlah, mungkin karna, kamu juga baik?" Kafka merotasi matanya malas. "Baik apanya, om? Atau om cuma kasihan sama Kafka? Kalo iya, begitu. Jangan lakuin lagi, Kafka gak mau di kasihanin." Ucapnya tegas, dia sangat tidak suka, ketika ada orang yang mengasihaninya, menatapnya dengan tatapan iba. Kafka tidak seburuk itu, kehidupannya!

"Bukan, saya udah anggep kamu adik saya sendiri Kafka. Jadi kamu gak perlu sungkan buat dateng ke saya kalo butuh apa-apa, saya selalu siap membantu kamu." Ujarnya, mereka berdua kini berada di ruang tv menonton film, yang mereka berdua pun tidak tau ini film apa?

"Saya juga gak tau, kenapa? Padahal kita baru bertemu empat bulan, tapi saya sudah merasa, jauh sekali mengenal kamu." Lanjutnya

"Om, menurut om. Kalo bulan depan Kafka jenguk ayah ke rumah ayah yang disana gimana? Kafka mau main aja sih." Tanya Kafka, jujur entah kenapa, Kafka memiliki perasaan tidak enak tentang ayahnya. Kafka hanya khawatir ayahnya kenapa-napa disana.

"I don't know, tapi memangnya kenapa kamu mau kesana?"

"Mau jenguk aja, lagian bulan depan udah mulai libur semester genap. Jadi dari pada Kafka gak ada kegiatan dirumah, mending ke ayah aja. Itung-itung liburan," Abisma mengangguk-anggukkan kepalanya paham,

"Yaudah, tapi kamu tau alamatnya?" Kafka menggeleng pelan menanggapinya

"Tapi, papah Galih tau! Nanti Kafka minta aja."

.
.
.

aku puyeng mikirin alurr gesss tapi alhamdulilah bentar lagi mendekati end agak jauh Deng wkwkwk, dahlah byeeeeee muah

Garis Takdir [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang