"ㅡyour loved one's legacy will live on in the hearts of all who knew them. May the fond memories of your loved one bring you comfort and healing..."
Zhang Hao hanya mampu menatap kosong kearah gundukan tanah yang kini sedang ditaburi bunga oleh kerabat-kerabatnya. Gerimis yang diterpa angin seirama dengan air mata yang jatuh turun di pipi Mamanya.
Kalimat penutup do'a yang ia dengar membuat hatinya terenyuhㅡ seperti disadarkan kembali bahwa Papanya kini telah terkubur bersama dengan seluruh kenangannya.
Sungguh, Papanya yang malangㅡ karena di ambang kematiannya, Hao masih bergelut dengan emosinya dan tak sadar mematik api benci dalam hatinya. Bahkan tanpa sempat ia ucapkan maaf dan selamat tinggal, Papa nya pergi ke tempat yang jauh dan takkan kembali.
Dua hal yang ia ingat dari ucapan terakhir Papanyaㅡ Perusahaan, dan Jiwoong. Kim Jiwoong, yang saat ini memegang erat tangannya sejak prosesi pemakaman dimulai. Kim Jiwoong yang bahkan lebih terdengar menyedihkan dan kehilangan dibanding dirinya. Demi Tuhan, bahkan tak ada air matanya yang turut mengiringi kepergian sang Papa. Bahkan suara isak tangis Jiwoong lebih besar dibanding rasa sesal di hatinya.
Sekali lagi, Papanya yang malangㅡ andai perselisihan itu tak terjadi, mungkin saat ini ia tak perlu repot-repot membenci Papanya yang kini tak bisa lagi ia temui.
"Hao, jangan ngelamun. Kl mau nangis, gpp nangis aja. Kl lo malu, peluk gue aja." Kalimat Jiwoong seakan menyadarkannya dari suara berisik di kepalanya. Zhang Hao tak bersuaraㅡ tak tahu harus menjawab apa.
"Yuk, Hao. Kita pulang... atau masih mau disini?" Jiwoong masih berusaha memberikan kenyaman untuknya. Duh kalau begini Hao jadi merasa bersalah pada Jiwoong, mungkin dia pikir Hao merasa kehilanganㅡ padahal nyatanya tidak. Ya sedikit sih... bagaimanapun dia baru saja kehilangan Papanya.
"Engga, gue mau pulang aja. Udah ada janji makan malam sama Hanbin."
Jiwoong melotot tak percaya, tapi menelan semua kata-kata sumpah serapah yang ingin ia ucapkan. Malahan saat ini Jiwoong memberikan senyum tipis pada Hao.
"Yaudah kalau ketemu Hanbin bikin hati lo nyaman. Gue pamit ya..." ucapnya seraya melepaskan genggaman tangan mereka.
Sore itu, yang Jiwoong pikirkan adalah kata-kata Papa Zhang mengenai pernikahan mereka yang harus segera dilaksanakanㅡ sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.
ㅡ Life is eternal, and love is immortal, and death is only a horizon; and a horizon is nothing save the limit of our sight. ㅡ
"Hanbin, salah ga sih kl aku ga ngerasa kehilangan? Aku benci banget sama Papa. Kamu tau? Disaat detik-detik terakhirnya, dia malah membahas tentang pernikahan. That's crazy."
"Gē, perasaan kamu tuh valid kok. Aku paham, kamu ngerasa semuanya ga adil buat kamu. Tapi, coba kamu pikirin lagi deh semua kebaikan dan kenangan kalian sejak kecil sampe kamu mau mewarisi kekayaannya?" Jawab Hanbin sambil terkekeh di akhir kalimatnya.
"Jangan sampe benci kamu yang ga seberapa ini ngalahin rasa sayang kamu loh. Papa mau yang terbaik buat kamu kan" sambungnya.
"Kamu bener, Bin. Aku ngerasa semuanya ga adil, sejak kecil aku sama sekali ga pernah dikasih pilihan. For God's sake, bahkan aku ga dikasih kesempatan buat memilih pasangan dan hidup sama orang yang aku cintai."
Hanbin hanya mampu memberikan usapan di punggungnya sampai terdengar isak tangis dari Zhang Hao.
"Nangis aja, Gē. Keluarin semuanya, aku ga akan kemana-mana ninggalin kamu" ucapnya sambil mengeratkan pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (neuljyung)
FanfictionZhang Hao yang terpaksa harus menikahi Jiwoong karena tuntutan Ayahnya disaat dia sudah memiliki tambatan hati, Hanbin.