15; Rujukan Kata Sebab

173 19 0
                                    

"Lo yang dipukul, kenapa gue yang berdarah?"
——————————

  "Bujang!" panggilan dua kali tersebut menyohor ke semua penjuru hutan Mahoni. Bermodalkan sebuah senter smartphone untuk menyusur ke dalamnya, demi memuaskan rasa penasaran akan sebuah pondok di tengah hutan tersebut.

"Jangan berisik," tegur Rhuto sembari melangkah ragu, Juna justru melangkah takut-takut di belakang Rhuto, bahkan tangan kanannya menarik baju Rhuto saking takutnya anak itu.

"Balik aja yuk! Gue belum siap. Kalau misalkan gue siap kita mampir ke sini lagi, ya?" ujar Juna dengan cerewet meminta kembali ke rumah, ia merasa tidak cukup tangguh untuk menghadapi apa saja yang nanti didapatinya.

"Telat! Udah berapa langkah lagi kok, udah mau nyampe masa balik? Sia-sia, kebelet penasaran gue," jawab Rhuto yang tangan kanannya menyorot keadaan pondok yang mana tertutup beberapa tanaman merambat.

"Ini udah abis isya, udah mau larut. Kita balik ayo, gue janji bakal ke sini lagi, tapi jangan malam, oke?" Juna kembali menghasut Rhuto agar pulang tapi, tetap saja Rhuto bersikeras untuk melanjutkan apa yang sudah dilakukannya apa lagi jika sudah sejauh demikian.

"Kalau lo mau balik, balik aja. Gue bisa sendiri," ujar Rhuto bernada kesal dengan mendelik ke arah Juna. Kiranya Juna tak akan menurut apa yang dikatakan Rhuto.

  Justru setelah mendengar apa yang dikatakan Rhuto, Juna langsung berbalik badan dan pergi berlari meninggal Rhuto sendirian. Rhuto langsung berdecih kesal, ia menyorot tubuh Ajuna yang berlari tanpa melihat ke arahnya, Rhuto menghela napas, ia memahami mungkin Juna benar-benar takut dengan apa yang mereka lakukan.

"Monyet! Dasar kurus tinggi nyali kuaci! Tungguin gue!"

   Rhuto pun berlari hingga cahaya senter dari smartphone tersohor acak, matanya terus bergerilya ke arah depan hingga ke samping lantaran tak kunjung menemukan dimana letak Juna berada. Rhuto berhenti, ia melangkah kecil-kecil sembari mengembus napas besar dengan membiarkan keringat dingin menutupi semua tubuhnya, Rhuto menatap sekeliling yang gelap—ia mencoba mengingat jalur mana yang mereka lalui. Rhuto menoleh ke kanan, ia bergeming—cahaya dari lampu kamarnya yang sebelum ke hutan ini, telah ia nyalakan, ia buka sengaja kordennya agar tahu jika mereka tak jauh dari rumah. Tapi, naasnya Rhuto menyadari jika ia telah salah jalur.

"Juna! Jangan bercanda, lo dimana?" suara Rhuto memantul di area hutan, sayangnya angin bertiup ke arah barat, hingga suaranya justru kembali padanya tidak terbawa ke arah timur yang diharapkannya.
 
  Rhuto mencoba diam, berharap Juna menyahut dengan apa yang sudah ia suarakan. Rhuto tahu bahwa sekarang dirinya tersesat, salah jalur. Dan, Rhuto merasa bahwa hal ini wajar lantaran Rhuto tak pernah masuk ke hutan Mahoni, ia bergegas membuka ponsel, ia sempat mengucapkan rasa syukur saat masih ada sinyal. Terburu-buru, Rhuto menekan sebuah nomor di ponselnya, lantas langsung menempelkan benda persegi panjang di kuping kanannya.

"Kenapa? Lo mau jujur soal hubungan sama si Juna? Udahlah nggak usah, gue malas ngurusin lo sama dia!" ujar di seberang sana menyahut dengan nada kesal.

Rhuto langsung menjauhkan ponsel tersebut, lalu terburu-buru menjawab, "Nggak! Gue lagi kesasar, bisa ke sini ngggak?"

"Lucu kesasar aja pake nelpon!" jawab Mia ketus.

"Gue serius, Mia. Lo tahu hutan Mahoni di samping rumah gue, kan? Kalau lo ke sini, bawa senter biar gue bisa tahu posisi lo. Gue lupa jalan keluarnya."

  Setelah menjelaskan dengan nada yang tergesa-gesa, Rhuto segera memutus sambungan. Ia mengarahkan senternya yang tak seberapa sembari memanggil Juna. Sekarang baginya bukan soal dirinya sendiri, tapi soal orang lain—Rhuto yakin bahwa Juna masih di area sini lagi pula Juna tak lama pergi setelah dirinya menyusul. 

HELLO JUNA! | HARUKYU REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang