Pena dan Suntik

6 0 0
                                    

Malam yang gelap dan sunyi menyelimuti hamparan pepohonan dan semak belukar, diselimuti oleh kabut tipis yang membuat suasana semakin mencekam. Dalam kegelapan itu, Syu terdampar dengan kedua tapak tangannya berlumuran darah, menghadapi kegelapan tanpa arah yang pasti. Langkahnya terhenti, nafasnya terengah-engah, tubuhnya terasa rapuh. Dia terus berjalan, meskipun rasanya seperti dihantui oleh kegelapan yang makin menggelayut. Akhirnya, dengan satu helaan nafas terakhir, dia jatuh berlutut, merasakan luka yang menusuk dadanya seolah-olah ditusuk oleh benda tajam yang tak kasat mata.

Di tengah gemuruh keheningan, terdengar suara rintihan tangis seorang perempuan. "Maafkan aku," serunya, dengan suara yang hampir sirna ditelan oleh kegelapan malam.

Namun, seiring dengan cahaya fajar yang mulai menyusup melalui jendela, Syu terbangun dari tidurnya yang penuh gejolak. Dengan gemetar, dia membuka kedua matanya, menatap langit-langit kamar yang tak lagi sunyi, namun di dalam dadanya masih terasa nyeri. Meraba dadanya yang terasa kaku, dia menghela nafas lega menyadari bahwa itu hanyalah mimpi buruk.

Tubuhnya terasa lelah karena mimpi barusan. Namun, jarum jam di dinding, dengan ketegasannya, memaksanya bangkit dari ranjang yang begitu menggoda untuk kembali berbaring. Ya, itu waktunya untuk berangkat ke kampus.

***

Di kampus, jam perkuliahan selesai lebih cepat dari biasanya, meninggalkan waktu luang yang jarang dimiliki. Syu memilih untuk duduk di bawah pohon rindang. Pena di tangannya mengetukkan meja beberapa kali, menggambarkan kegelisahan yang tak terucapkan. Ia terlihat berpikir keras. Kemudian, dengan gerakan refleks, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba menyingkirkan kebingungan yang membelit pikirannya.

Tiba-tiba, seorang gadis menghampiri dengan kaleng minuman kopi yang diulurkan ke arahnya. Gadis itu sebaya dengan Syu. Devina, seorang mahasiswi Kedokteran yang seharusnya tidak berada di sekitar Fakultas Ilmu Komunikasi.

"Kamu kelihatan seperti bapak-bapak beranak lima," ucap Devina dengan nada ringan ketika baru saja duduk di hadapan Syu.

"Ya kamu, sih. Mintanya lima," balas Syu dengan nada datar.

Wajah Devina terlihat terkejut, memunculkan warna merah di atas kulitnya yang putih. Mengibaskan tangan ke wajahnya.

"Jauh banget kamu mainnya. Sampai ke Fakultas ku."

"Kenapa? Kan mau melihat pacarku yang enggak punya teman selama kuliah dua tahun ini," Kata Devina dengan nada meledek.

Syu menegapkan badannya ketika Devina hendak meraih pipinya. "Eh, banyak orang."

Devina tertawa kecil, "Ada tugas ya? Berita lagi?" Tanya Devina.

"Ya, begitulah."

"Angkat kasus yang akhir-akhir ini ramai aja. Kasus pembunuhan berantai."

"Aku kepikiran itu juga. Tapi, pasti aku harus mewawancarai pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan informasi. Seperti polisi, ahli forensik, atau yang lainnya gitu."

Devina menyeruput minuman yang dibawanya. Sedikit menganggukkan kepalanya sebagai tanda mendengarkan Syu.

"Permasalahannya aku enggak punya relasi sampai kesana. Karena semester lalu, aku pernah mau mewawancarai pihak-pihak seperti itu, mereka selalu menolak."

"Aku pikir, sebaiknya kamu enggak membawa tangan kosong ketika mendatangi pihak-pihak tersebut," usul Devina.

Syu memahami maksud Devina. Jika menginginkan sesuatu, ada sesuatu yang harus dipertaruhkan. Mengingat bagaimana kondisi negeri ini. Devina, meskipun tidak dapat memberikan bantuan lebih banyak, setidaknya memberi saran yang bisa dijadikan pegangan.

"Sepertinya aku enggak bisa membantumu lebih banyak," ujar Devina dengan nada sedikit basa-basi. "Tapi semoga berhasil ya."

Karena belum menemukan jalan keluar yang pasti, Syu akhirnya mengajak Devina pulang dengan mengendarai motor miliknya. Mereka memutuskan untuk menyempatkan diri berkeliling sebentar menikmati suasana perkotaan, menikmati langit senja yang merona hingga malam tiba.

Syu mengantar Devina hingga ke depan rumahnya. Mereka berpamitan dengan orang tua Devina yang tersenyum ramah di teras. Setelah meyakinkan bahwa Devina telah sampai dengan selamat, Syu kemudian memacu motor kembali ke rumahnya, membawa perasaan yang campur aduk di dalam hatinya.

***

Duduk di depan televisi setelah makan malam bersama keluarganya, Devina dan orang tuanya menikmati perbincangan santai. Kedua orang tua Devina dengan antusias menanyakan tentang hubungannya dengan Syu yang sudah berjalan kurang lebih enam tahun.

Namun, perbincangan mereka terpotong oleh berita yang tiba-tiba muncul di layar. Berita tersebut melaporkan penemuan mayat seorang pria dewasa di dalam rumahnya, tewas dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Kepalanya hancur dipukul dengan benda yang keras, sementara tidak ditemukan barang bukti pembunuhan atau jejak pelaku di tempat kejadian perkara.

Devina dan keluarganya menyimak berita tersebut dengan hening.

"Masih belum terungkap pelaku sadis itu ya?" gumam bapak Devina, ekspresinya memperlihatkan kegelisahan.

Ibu Devina merinding, geleng-gelengkan kepalanya sambil memandang layar televisi dengan wajah cemas. "Kamu hati-hati, Vin. Jangan keluar atau pergi-pergi sendirian. Ibu takut."

"Iya, Bu. Syura selalu menemaniku kalau pergi-pergi," kata Devina, mencoba menenangkan ibunya dengan senyuman.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Behind The SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang