18. Sebuah Berkat

1.5K 207 38
                                    

Inget cuman fiksi, Happy Reading!

*

Terlalu banyak yang terjadi hingga Rheas tidak bisa berpikir dengan lebih jernih. Jedrick tidak sepenuhnya salah, ah tidak.. Jedrick tidak salah. Harusnya memang Rheas bersikap netral meski dirinya yakin Selena tidak bersalah. Hanya saja, setiap dirinya menatap Jedrick, sebuah rasa marah dan sakit yang tidak tertahankan memenuhi hatinya. Sesak dan sakit.

"Yang mulia, yang mulia Raja Yevghaniya meminta izin untuk bertemu. Haruskah saya membiarkannya masuk?" tanya Blanche meminta izin.

"Blanche.. jika kau ada diposisiku, apa yang akan kau lakukan?" Rheas justru balik bertanya.

Blanche menghela nafas. "Anda tidak boleh membiarkan tamu menunggu, mari kita berbincang setelahnya.." jawaban Blanche membuat Rheas semakin murung.

"Aku tidak mau berbicara dengan papa.." ujar Rheas pelan.

"Yang mulia, tolong jangan libatkan emosi anda lebih dari seharusnya. Anda bukan lagi seorang remaja bukan?"

"Kau menyebalkan.." lirih Rheas. "Padahal meminta izin, tapi rasanya kau seolah memaksaku untuk membiarkannya masuk.."

"Apa ada alasan kenapa anda tidak mau menemuinya?" tanya Blanche.

"Aku akan tenggelam dalam emosiku, aku sepertinya akan marah ketika melihat Papa.. Seperti saat melihat Jedrick.." jawab Rheas.

Blanche kembali menghela nafas, kali ini lebih panjang. "Apa anda tidak mempelajari bagaimana cara mengelola emosi anda? Anda harus bijak, yang mulia.. Akan ada lebih banyak hal yang membuat anda marah dan sedih kedepannya.." ucapan Blanche membuat Rheas menyembunyikan diri dalam selimutnya.

"Bawa Papa masuk.." lirih Rheas.

"Baiklah, sekarang anda harus bersiap. Tidak pantas menghadap ayah anda dengan penampilan begini.." ucap Blanche tegas.

Rheas menurut. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk berdebat dan membalas ucapan pelayan pribadinya itu.

Apa bisa dibayangkan apa yang terjadi setelahnya? Benar, meski Rheas bertemu dengan ayahnya. Mereka hanya duduk berhadapan dalam diam. Rheas yang enggan bersuara dan sang Ayah yang tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Teh Rheas bahkan sudah habis setengahnya. Baiklah, setelah teh ini habis mari sudahi pertemuan ini. Setidaknya, Rheas sudah menemuinya.

"Papa minta maaf.." akhirnya Keyrix bersuara.

"Apa papa tidak salah meminta maaf? Bukankah papa seharusnya minta maaf pada mama?" tanya Rheas dengan tenang. Meski begitu, hatinya bergejolak marah.

"Jika Rheas pikir, Papa belum meminta maaf pada mama itu salah.. Papa meminta maaf kepada mama berkali kali.." balas Keyrix dengan senyum getir.

"Papa tidak mengerti? Itu mungkin karena mama ingin papa membuang selirnya!" Nada Rheas naik. "Aku tahu pala mengerti tapi papa tidak melakukannya! Kenapa? Papa menyukai selir itu?" seru Rheas marah.

Keyrix memejamkan matanya. "Jangan bilang pada mama, tapi-" Keyrix menjeda ucapannya.

"Papa tidak bisa karena mama dikutuk oleh selir itu.." lanjutan ucapan sang ayah membuat Rheas menatap Keyrix tidak percaya.

"Mama tidak selemah itu hanya sakit karena racun.. Harusnya, dia menyadari sejak awal.. Papa juga tidak bisa membunuhnya karena itu adalah jenis kutukan yang hanya bisa bilang jika pemilik kutukan itu melepasnya.." penjelasan itu membuat Rheas merasa bebannya kian memberat. Apa.. yang dia harus lakukan sekarang?

"Rheas tahu, kan? Jika papa mengatakan ini pada mama? Mama akan langsung mengambil pedang dari sarungnya dan membunuh si selir. Lalu membiarkan dirinya bertarung dengan kutukannya.. Papa.. tidak bisa membiarkannya.. Papa.. tidak mau melihat mama menahan sakit dan penderitaannya dengan senyum palsunya.. Papa lebih suka mama yang seperti ini, berkata kasar dan dingin pada papa tanpa menyembunyikan sakit dan penderitaannya. Papa bodoh bukan?" ujar Keyrix dengan senyum getir.

I'm not the Original Anti Villain | NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang