Apa Kabar, Ayah?

116 14 6
                                    

+++

++++

Get inspired from this song (makasih Hindia)

Untuk memenuhi req: Lis_Vn

+++


Derap langkah yang semakin menggema pada ruangan mewah dengan permadani terhampar luas. Tak ada makna langkah itu kalau tak menuju pada sebuah ruangan yang diinginkan sang tuan.

Tuan raja yang terhormat. Lelaki muda bak singa yang telah terlahir kembali di kerajaan besar tersebut, Vermillion. Ialah raja selanjutnya.

Penyerahan takhta yang begitu tergesa-gesa dan terkesan ceroboh baginya. Kerajaan Vermillion harus kembali ditegakkan dari segi apapun, hanya dalam kedua tangan Liko, raja baru tersebut.

“Tangan Ibunda terlalu halus untuk menggenggam kursi kerajaan, lebih baik Ibunda gunakan untuk menyulam puisi kepada Ayahanda. Biarkan Liko yang menempa bentuk kerajaan ini dengan keadilan dan keberanian.”

Ucapnya dengan penuh keyakinan, yang membuat Ibundanya terbayangkan sosok Ayahandanya. Ayah yang tegas dan lantang menggaungkan keberanian. Berkedip mata Ibunda menahan butiran air mata yang terasa perih dengan jiwanya yang terkadang terguncang.

Sang anak kembali ke ruangannya. Tumpukan kertas siap untuk ia urusi dalam kejaran waktu. Beberapa kali juga harus keluar dari ruangan, bukan untuk beristirahat, melainkan mengecek keamanan dan kondisi rakyat yang diurusnya. Turun tangan untuk langsung menyelesaikan masalah.

Satu-satunya pelepas lelah sang raja hanyalah pergi tidur, tetapi ia hanya lebih sering untuk membuka matanya, merenungkan segala pikirannya yang berkecamuk. Dapat ia dengarkan pikirannya yang berteriak, mengusik ketenangannya. Seakan-akan ada orang yang berteriak seperti itu di sampingnya.

Lama-lama, pikirannya lelah.

Apakah ada cara untuk menuangkan pikirannya ini?

“Menulis, nak.”

Ibunda sontak menjawab pertanyaannya.

Dengan menulis, kau dapat menjawab segala masalah, nak. Dengan menulis, kau dapat mengetahui apa yang sedang terjadi saat ini.”

Liko terdiam sejenak. Lantas mengucapkan terima kasih dan pamit pergi dari balkon kerajaan—tempat sang Ibunda selalu bersantai dan menghabiskan secangkir teh panas. Namun, sebelum benar-benar pergi, Ibu mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang sekaligus mengacak rambutnya.

Bukannya saling menyembuhkan dengan perilaku yang penuh kasih sayang. Mereka malah membuka perasaan nostalgia yang menyiksa hati. Nafa teringat dengan dirinya yang sering mengecup kening suaminya, Liko teringat dengan ayahnya yang akan mengacak rambutnya.

Mereka berbalik tanpa merasakan emosi apapun, tak ada senyuman. Hanya ada luka yang semakin pedih rasanya.

Tentu kegiatan itu takkan mudah ia lakukan di tengah kewajibannya menjadi seorang raja. Bocah umur 13 tahun itu yang seharusnya mencari jati diri, terpaksa menjalankan tanggung jawab yang begitu besar yaitu mengelola kerajaan, karena sang Ayah, dan untuk rakyat, beserta Ayah.

Jam 12 malam seharusnya menjadi jam dirinya berhenti bekerja. Tetapi, Liko tak ingin tidur. Ada yang mengganjal di hatinya yang masih luka dan pikirannya yang berisik.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Apa Kabar, Ayah? | Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang