✿༽ㄏtidak ada apapun ✿༽ㄏ

12 4 0
                                    

"kalian ketemu di mana?" tanya Winter.

"Di sana tadi, gue sama Haechan sama Renjun, tapi kita berpencar dulu cari bantuan," jelas Gisel membuat mereka mengangguk.

"Itu apa di belakang kalia--"

"Gisel, lo tadi mau ikut nyari, kan? Ayo pergi sekarang," ajak Mark dengan suara sedikit teriak guna mengambil alih perhatian Gisel. Teman-temannya yang mendapat sinyal untuk tak bersuara dari Mark juga tak membuka mulut perkara Chenle.

"Iya, tapi itu apa?" Gisel masih penasaran.

"Eonni, kalian harus pergi keburu malam, kita sama sekali ga ada penerangan lho di sini," Winter menggeser sedikit tubuhnya, Ning Ning juga merapatkan tubuhnya ke Winter untuk menutup celah.

"Ya udah, kita pergi dulu, ya," pamit Gisel berlari mendahului Mark.

Semakin jauh kaki melangkah namun Haechan dan Renjun tak kunjung menemukan apapun.

"AAAAAAAA" teriak Haechan lalu menidurkan tubuhnya di atas pasir. Tubuhnya sudah meminta untuk berhenti bergerak, tenggorokannya meminta untuk dibasahi air, dan perutnya sudah minta untuk segera di isi makanan. Napasnya tak beraturan karena perjalanan tak menentu ini.

Ia menoleh ke kanan, ombak kecil datang ke arahnya lalu menoleh ke kiri, menatap batu-batu besar itu, semakin lama matanya menjelajahi semua bebatuan itu sampai di puncaknya ia melihat ada sesuatu yang bergerak di sana. Haechan mencoba memfokuskan pandangannya pada objek tersebut.

Terlihat seperti Renjun yang sedang melambaikan kedua tangannya ke arah Haechan.

Tunggu, Renjun? Di atas sana?

Haechan segera bangun dan mendongak ke arah puncak batu besar itu, Renjun masih terus melambaikan tangannya.

"Orang gila, gimana dia bisa sampai ke sana, sih?" Haechan menjambak rambutnya sendiri. Perasaan Renjun tadi masih berada di sebelahnya dan ia tiduran tidak begitu lama rasanya.

Kini Haechan mencoba mempertajam pendengarannya. Renjun seperti meneriakkan sesuatu namun ia sama sekali tidak bisa mendengarnya. Haechan lalu menggunakan bahasa tubuh untuk memberitahu Renjun kalau ia sama sekali tidak mendengar suaranya, entah temannya itu mengerti atau tidak. Haechan memilih tidur kembali di atas pasir mengabaikan Renjun di atas sana.

"Anjing," umpat Renjun saat Haechan tidak memedulikan teriakannya dan memilih untuk tiduran kembali.

"HAECHAN, BANGUN BANGSAT. CARI BANTUAN!" teriak Renjun penuh tenaga namun Haechan sama sekali tidak merespons.

"LEE HAECHAN!"

Renjun menyerah, ia mengangkat kedua tangannya jika berurusan dengan Haechan. Kenapa juga Mark harus menyuruhnya pergi berdua dengan orang itu.

Renjun kemudian mengedarkan pandangannya ke bawah sana, setidaknya di atas sini jangkauan penglihatannya lebih luas daripada harus berjalan jauh. Meskipun di atas sini ia harus mengandalkan kemampuan matanya untuk bisa melihat dengan jernih setiap objek di bawah sana.

Renjun bisa baik ke sini dengan bantuan batu-batu besar yang saling menyusun layaknya tangga meski harus butuh tenaga ekstra untuk menaikinya karena permukaan batu yang licin akibat hujan badai tadi. Tapi itu tidak menjadi masalah bagi Renjun yang suka mendaki bersama ayahnya.

Renjun melihat yang bisa dijangkau matanya dan tidak menemukan apapun selain lautan yang luas. Ia mencoba ke sisi yang lain membuat ia menghilang dari pandangan Haechan.

Haechan yang panik karena tidak bisa melihat keberadaan Renjun mau tak mau harus menyusul temannya itu daripada sesuatu terjadi pada Renjun, atau mungkin dirinya? Dengan susah payah laki-laki itu menaiki batu-batu tempat Renjun naik tadi, kakinya dengan hati-hati menginjak bolongan yang ada pada batu sebagai penahan tubuhnya hingga akhirnya Haechan sampai di atas.

Napasnya kembali tak beraturan, Haechan yang paling malas berolahraga di antara teman-temannya harus dihadapkan dengan semua ini. Kakinya lemas dan rasanya tidak bisa ia gerakkan lagi, Haechan terjatuh ke tanah.

"Nyusul juga lo?" Renjun datang dan membantu Haechan berdiri.

"Lohh, hah ... hah ... capek, hah," ucapnya dengan napas tersengal-sengal.

Renjun menepuk punggung Haechan, "Sekalian latihan, ayo," ajaknya mendahului Haechan, dengan kekuatan yang masih ada Haechan mengikuti langkah Renjun. Semoga saja temannya itu tidak lupa kalau Haechan lemah dalam hal fisik, jangan sampai ia selamat dari tenggelamnya kapal namun akan tiada karena latihan fisik tidak sengaja yang diberikan Renjun.

Setelah berjalan cukup jauh yang membuat kaki Haechan benar-benar akan patah karena mengikuti langkah Renjun, akhirnya mereka berhenti. Renjun yang berada di depan terdiam membuat Haechan yang ingin protes kesekian kalinya tidak jadi saat Renjun memarahinya karena terus mengomel, dengan gerakan tangan Renjun menyuruhnya mendekat.

"Lihat." Telunjuknya bergerak dari kiri ke kanan secara perlahan. Keduanya menganga tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di posisi mereka saat ini mungkin menjadi tempat di mana mereka bisa melihat semuanya lebih luas daripada tempat tadi.

Dan ...

Semuanya hanya dikelilingi lautan, sama sekali tidak ada apapun seperti rumah warga atau apapun. Sama sekali tidak ada.

Haechan kembali menjambak rambutnya untuk yang kedua kalinya, mulutnya masih menganga tak percaya, begitu juga dengan Renjun.

Lutut Renjun yang tadinya baik-baik saja kini ikutan lemas seperti jelly yang tidak bisa menahan berat tubuhnya. Laki-laki itu terjatuh, memikirkan bagaimana nasib mereka sampai berakhir di tempat ini.

"AAAAAA BANGSAT." umpat Renjun meninju tanah.

"Ayolah, gue ga mau mati di sini," Haechan mengusap wajahnya kasar.

"BANGSAT, KENAPA GUE HARUS ADA DI SINI." Haechan ikut teriak mengeluarkan umpatan yang tersimpan.

IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang