selamat membaca!
"Kenapa malah ke sini, Shan?" tanyaku.
Aku sudah duduk di kursi yang ada pada taman belakang, dengan Shani yang berdiri di dekat pintu, pintu yang memang tidak jauh dari tempat makan.
"Aku benci mereka. Lebih baik aku dikatakan anak tidak punya sopan santun daripada aku harus mendengar perkataan tidak enak dari mereka," ucap Shani.
Shani bersandar pada dinding di dekat pintu dengan wajah yang terlihat marah namun terlihat sedang gelisah juga.
"Duduk di sebelah aku, Shan. Jangan berdiri di situ," ucapku, dia menggeleng.
"Aku takut kalau mereka malah ga sopan ke Papa, kalau di sini aku bisa nguping sedikit," balasnya.
"Kalau begitu kita ikut makan ya di sana? Kamu belum sarapan, aku juga. Makannya harus teratur lho, nanti siang kita berangkat juga," ucapku lalu mendekat ke arahnya.
"Aku ga mau, sayang. Aku takut kalau kamu ikut juga nanti kamu malah dijadikan bahan omongan sama mereka, kalau aku ya ga masalah. Tapi kamu?" ucapnya.
Aku menggenggam tangannya, mengelusnya perlahan. Dia hanya diam menatapku, tidak juga membalas perlakuan dariku.
"Aku ga masalah, ayo? Kan kemarin kata kamu kita lewati tantangannya bersama, kamu pasti ingat itu? Ada aku di samping kamu," ucapku.
Aku melihat dia yang memejamkan matanya, tidak lama setelahnya dia tersenyum pada ku.
Kami berjalan masuk, mengarah ke tempat makan. Dengan aku yang melihat tatapan keluarganya sinis sekali, dengan aku yang tidak tau ada masalah apa di antara mereka semua, terutama Shani.
"Kalau mereka menjelengkkan kamu, jangan respon omongan mereka, biar aku aja ya? Apalagi kalau omongan yang ga enak," ucap Shani.
Dengan dia yang berbicara tepat di telinga ku sebelum akhirnya menarik kursi untukku duduk tepat di sampingnya.
"Adek ini kuliah atau kerja? Baru pertama kali liat nih kita. Shani ga pernah kenalin kamu ke kita lho," ucap salah satu Om Shani.
Aku belum sempat menjawab, Shani lebih dahulu menarik tanganku untuk menatapnya yang sedang menggeleng.
"Fokus makan aja, ingat kan kata aku? Kalau makan tidak boleh sambil berbicara," ucapnya, aku mengusap tangannya sebelum melanjutkan makanku.
"Dia udah kerja. Kerja di kantor saya," ucap Shani, aku menatapnya yang tersenyum padaku.
"Maaf, ini baru selesai mandi. Ayo dimakan semua ya? Semoga suka," ucap, Mama yang baru datang.
Aku melihat ke arah Mama yang sekarang sudah berada di samping kiri Shani, di sebelah kiri Papa.
Kami menikmati makanan ini dalam diam, sampai akhirnya semua menyelesaikan kegiatan makan mereka. Dengan Nenek Shani yang menatap ke arah Papa, Mama dan Shani bergantian.
"Kita langsung saja ya, Nak. Ibu ke sini sama Adik kamu, mau minta pembagian kekuasaan di kantor kamu," ucap Nenek.
Aku yang mendengar hal itu langsung menggenggam tangan Shani, mengusapnya. Dia yang sedang memejamkan matatanya, tubuhnya bersanar seakan pasrah.
"Maksudnya apa ya, Bu? Mas ga ngerti," balas Papa.
Nenek Shani itu memberikan sebuah map berwarna merah pada Papa, meminta Papa dan Shani membaca isi dari kertas yang ada.
"Ibu cuma mau kalau Adik kamu ini mendapat jatah dari perusahaan kamu, mendapatkan jabatan juga keuntungan," jawab Nenek.
Papa sibuk dengan kertas yang dibaca olehnya, dengan tatapan emosi darinya Papa menyerahkan kertas tersebut pada Shani. Lama sekali Shani membaca isi dari surat tersebut, setelahnya dia ikut membuka suara.
"Kalian ini tidak tau diuntung ya? Setelah perusahaan kembali mencapai titik tertinggi seperti sekarang kalian malah datang?" ucap Shani membuang kasar napasnya.
"Kemarin saat hampir bangkrut kalian di mana? Saat kami butuh kalian ada di pelosok dunia mana? Sekarang kalian malah datang hanya untuk minta jabatan dan keuntungan?" lanjut Shani.
"Lho? Papa mu itu kan Kakak kami, anaknya Ibu juga. Sudah seharusnya untuk membagi hartanya pada kami? Kamu ini bagaimana sih, Shan?" ucap salah satu Om Shani.
"Papa saya memang Kakak kalian, Papa saya juga memang anak dari Ibu," ucap Shani menunjuk Neneknya, "tapi perlu kalian ingat, kemarin disaat itu apa kalian datang kemari? Apa seperti itu yang kalian sebut sebagai keluarga? Keluarga apa kalian ini?"
"Kalian ini jangan membuat lelucon dulu, hingga kapanpun kalian tidak akan pernah mendapat bagian dari perusahaan. Perusahaan sekarang milik saya, bukan lagi milik Papa, semua harus atas dasar persetujuan saya."
"Kemarin-kemarin kalian keterlaluan pada Mama saya, sebentar saya ingatkan? Disaat pernikahan anak terakhir di keluarga kalian ini, karena kami tidak bisa menyumbang uang dan kalian malah meminta Mama saya untuk mencuci piring kan?"
"Kalian minta Papa saya untuk merapikan taman di depan rumah kalian itu kan? Di mana letak keluarga jika seperti itu? Kejadian 3 tahun lalu itu tidak akan bisa saya lupakan walau kata maaf berulang kali kalian ucapkan," lanjut Shani.
Terlihat Mama yang menahan lengan Shani, "Shan, yang sopan. Mereka tetap Nenek, Om dan Tante kamu," ucap Mama.
Shani menggeleng, "untuk apa aku sopan pada orang yang mereka sendiri tidak punya sopan? Lucu sekali kalian ini," balas Shani.
"Anak mu ini lho Mas, Mbak. Kok kurang ajar ya? Ga kalian didik apa bagaimana? Tidak sopan," ucap Tante Shani.
Terdengar meja yang dipukul, dengan Papa yang sudah berdiri dengan menunjuk ke arah mereka semua. "Kalian yang kurang ajar, kalian datang ke rumah ini tanpa di undang dan hanya untuk membahas harta?" ucap Papa.
"Kalian bilang kami tidak bisa mendidik? Apa kalian tidak berkaca? Ibu, apa didikan Ibu benar? Ibu mendidik mereka untuk tidak mandiri seperti ini? Ibu mendidik mereka untuk mengatai anak saya seperti ini?" lanjut Papa.
"Kalian yang tidak sopan! Pergi kalian dari rumah saya. Jangan pernah lagi untuk kembali kalau bukan karena kalian ingin mengucapkan kata maaf pada kami," bentak Papa dengan berteriak.
"Keterlaluan kamu, kalau bukan karena Ibu, bagaimana kamu bisa hidup sampai sekarang!" ucap Nenek.
Terdengar suara tamparan yang dilakukan oleh Nenek pada Papa, Shani yang langsung berlari lalu berdiri tepat di depan Papa.
"Dia hidup dengan anda hanya selama 20 tahun, sisanya selama 28 tahun dia habiskan bersama keluarga ini. Berapa yang anda keluarkan untuk menghidupi Papa saya? Saya bayar sekarang," ucap Shani.
"Kurang ajar!" bentak Nenek.
Terdengar lagi suara tamparan, dengan Shani yang menerima tamparan dari Neneknya. Aku bisa melihat Shani yang menyeringai, tertawa setelahnya lalu mengusap ujung bibirnya yang berdarah.
"Tidak sakit. Oh ya, pintu keluar ada di sebelah sana, atau perlu saya antar hingga keluar dari halaman rumah keluarga saya?" ucap Shani dengan menunjuk pintu.
Aku mendekat ke arah Shani, menarik diriya untuk menjauh dari situ. Membawanya ke kamar kami, tepat di depan kamar Shani memilih untuk berhenti.
"Pergi!" teriak Shani dari atas, aku langsung menariknya masuk ke dalam kamar.
"Tenangin diri kamu, kalau udah tenang kamu boleh panggil aku. Aku keluar dulu, setelah itu kita bicara," ucapku setelah kami berada di dalam kamar.
────
KAMU SEDANG MEMBACA
kita | shansis - end
Randomini tentang perjalanan dengan rusak, patah, dan luka 'kita' setelahnya.