Aidah sedang duduk di ruang tamu. Ia sedang mengobrol bersama Umi dan Kyai. Namun, obrolannya ia hentikan tatkala melihat Ustazah Hani yang sedang berlari cepat menuju rumahnya. Ia pun mengerutkan dahinya dan berdiri menghampirinya. Ustazah Hani terengah-engah. Ia menceritakan apa yang terjadi sambil sesekali menarik napas pendek. Aidah pun terperanjat.
"Te-terus, di mana Yahya, Ustazah?" tanya Aidah panik.
"Saya juga tidak tahu, Ai. Sejak peristiwa itu, Yahya lari sambil menangis. Terus dia ...."
Belum selesai Ustazah Hani berbicara, Yahya sudah ada di depan rumah Kyai. Wajahnya memerah. Matanya sangat sembab. Terlihat jelas bekas kelokan air mata di pipinya.
"Apa benar yang dikatakan teman-teman?"
"Apa, Nak? Umi enggak paham maksud ...."
"Umi jangan bohong! Yahya anak haram kan? Iya kan?!" teriak Yahya dengan hati yang sudah teriris-iris.
Aidah hanya menggelengkan kepalanya. Mulutnya segan untuk berbicara. Ia ingin sekali mengatakan "tidak." Tapi bagaimana? Semua terjadi tidak sesuai logika. Hatinya pun sangat perih. Belum pernah Yahya selama ini marah kepada Aidah. Sakit hatinya, untuk pertama kali melihat Yahya membentaknya.
"Kenapa Umi begini? Kenapa Umi ... Kenapa Umi berzina!"
Dengan cepat, Kyai melayangkan tangannya. Yahya pun jatuh tersungkur karena tamparan yang cukup keras.
"Dasar anak tidak tahu diuntung!"
Aidah pun terperanjat melihat respons Abinya. Ia berlari cepat ke arah Yahya. Ia membantu anaknya bangun. Namun, Yahya menepis tangan Aidah.
"Memang, sejak awal, di sini tidak ada yang sayang sama Yahya!"
Yahya pun pergi dengan cepat dan meninggalkan pesantren.
***
Yahya masih belum ditemukan. Kyai Rahmat jadi merasa bersalah telah menampar cucunya. Seluruh Ustaz dan Ustazah pesantren pun turut membantu mencari keberadaan Yahya. Namun nihil. Bahkan, ketika Ustaz Zakaria dan Abidin mencari Yahya di danau pun tidak ditemukan jejak Yahya.
Hari sudah mau magrib. Cuaca pun semakin menambah kekhawatiran Aidah dan Ustaz Zakaria. Hujan begitu deras mengguyur desa Pesantren Darul Falah.
"Kamu mau ke mana, Ai?" ucap Ustaz Zakaria yang menahan tangan Aidah.
"Aku mau cari Yahya, Mas."
"Iya, tapi ini hujan besar. Kalau kamu kenapa-kenapa, bagaimana?"
"Terus, Mas mau membiarkan Yahya terguyur hujan yang entah di mana?!"
"Ya sudah kita cari sama-sama ya."
Semua sangat khawatir. Hampir seluruh pengurus dan pengajar pesantren nekat menerjang hujan untuk mencari di mana keberadaan Yahya. Namun, pencarian masih nihil.
***
Ia terus berlari menerjang hujan. Derasnya air hujan seakan mengekspresikan kesedihannya kala itu. Ia lari menapaki bukit. Kesal. Marah. Sedih. Sakit. Perih. Semuanya campur aduk mengisi hati dan pikirannya.
Ia menaiki tebing yang cukup tinggi. Sesekali ia terjatuh dan tergelongsor. Namun, karena kesedihan akan takdir yang belum bisa ia terima, rasa sakit di lutut dan tangannya entah kenapa tak terasa.
Yahya terus berlari di tengah hujan. Sampai langkahnya pun terhenti di ujung tebing. Ia berlutut. Menangis. Berteriak. Ia belum bisa menerima takdir yang ada.
"Kenapa?! Kenapa Engkau menciptakan hamba?! Buat apa Engkau ciptakan hamba dari perzinahan?!"
Ia berteriak kencang. Sangat kencang. Sampai petir pun mendengar seruannya dan menggelegar tepat setelah Yahya mengeluarkan isi hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JATUHNYA CATATAN MALAIKAT RAKIB (TAMAT)
Подростковая литератураSemuanya duduk di ruang tamu. Tak ada yang berani berkata ketika Kyai Rahmat sudah berbicara. Hening. Malam hari yang sangat bergejolak. Aidah duduk di hadapan Umi dan Abinya. Kepalanya tertunduk tak berani memandang kedua orang tuanya. Sedangkan, A...