Setelah menghabiskan beberapa waktu bersama seseorang yang kini statusnya menjadi suamiku, aku merasa aku kembali hidup. Aku mulai merasakan lagi yang namanya senang, sedih, kesal, bahagia, dihargai, dan terharu. Semua itu karena Mas Jheriel.
Tepat di awal tahun, aku menyerahkan seluruh sisa hidupku pada Mas Je. Aku yang waktu itu sudah tidak minat untuk sekadar menjalani rutinitasku setiap harinya. Aku yang selalu merasa hampa dan kosong. Aku yang sudah bosan untuk hidup dan aku yang hampir menyerah pada dunia. Kemudian bertemu Mas Je karena dituntun oleh takdir.
Dia hadir di waktu yang tepat. Di mana aku benar-benar sudah memantapkan diri untuk mengakhiri hidupku sendiri. Namun niat tersebut harus aku tunda karena hari itu aku harus menemui Mas Je di kafenya. Anehnya setelah bertemu Mas Je, aku merasa aku harus tetap hidup untuk kembali menepati janji, bertemu lagi dengannya. Dan berulang terus menerus hingga akhirnya pikiran untuk mengakhiri hidup itu tak pernah muncul lagi di kepalaku.
Mungkin di beberapa orang, kisahku ini tak masuk akal. Mengirim tweet asal sehingga membuat seseorang me-reply, kemudian membuat janji untuk bertemu padahal baru tahu namanya saja. Gilanya, aku benar-benar datang menemui orang yang tidak aku ketahui wujud dan sifatnya kala itu. Padahal di zaman yang sedang marak pembunuhan ini sudah seharusnya kita harus serba hati-hati.
Namun, aku merasa sangat beruntung karena orang yang kutemui adalah Mas Je. Yang pada akhirnya menjadi suamiku. Seseorang yang akan menghabiskan sisa hidupnya bersamaku. Semoga.
Seseorang yang kini dengan sukarela bangun lebih awal dariku. Seseorang yang rela menghabiskan paginya di dapur hanya untuk membuatkan aku sarapan. Walaupun hanya sepiring mie instan yang diberi telur mata sapi. Tetapi bagiku ini sudah lebih dari cukup. Karena kehadirannya, aku merasa cukup.
"Shay, maaf. Aku cuma bisa kasih kamu mie instan. Soalnya persediaan di kulkas kita abis ternyata." Pria yang hanya menggunakan kaus belelnya kini duduk di sampingku. "Nanti siang kita makan enak di luar, ya?"
Tetapi fokusku hanya tertuju pada sepiring mie goreng yang wanginya semerbak memenuhi seisi ruangan ini.
"Kenapa cuma diliatin? Gak mau sarapan pake mie, ya, Shay? Atau mau aku beliin bubur ayam depan komplek? Iya, ya? Harusnya aku langsung beliin kamu bubur aja, bukannya malah masak mie. Maaf, Shay, aku gak berpikir jauh."
"Kenapa cuma satu, Mas?"
"Apanya, Shay?"
Aku menatap Mas Je yang mukanya kini terlihat bingung. "Kenapa masak mie-nya cuma satu?"
"Oh, emang tinggal satu, Shay. Itu persediaan makanan terakhir kita. Aku juga heran, padahal kita hidup cuma berdua ya, Shay, tapi kok makanan kita cepet habis. Gimana kalau misal tiba-tiba ada zombie di luar sana kayak di drama happiness, tapi di sini makanan kita habis? Kamu milih mati kelaparan atau jadi zombie juga, Shay?"
"Tiba-tiba ngomongin zombie, Mas?"
"Misal aja ini mah, Shay. Gimana coba? Kamu pilih yang mana?"
"Tetep hidup sama Mas Je."
Respons Mas Je malah menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangan. "Aw, so sweet, deh, Shay."
Lagian aneh, mana mungkin akan ada zombie di hari minggu seperti ini. Kalau besok sih, mungkin saja karena besok hari senin.
"Kalau mie-nya cuma sepiring, terus Mas Je gimana?"
Sebelum menjawab, Mas Je tertawa singkat. "Gapapa. Aku gak sarapan juga gapapa. Udah minum kopi kok tadi, segelas."
"Kenapa cuma kopi?"
"Yang kesisa cuma kopi sama mie doang. Udah ah, Shay, mau aku beliin bubur gak?"
"Gak mau. Mau makan mie aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Here With Me
ChickLitPerasaan kosong, kesepian, takut, dan ingin hilang dari Bumi adalah hal yang selalu ingin aku lupakan. Tapi nyatanya, mereka selalu kembali datang. Lagi dan lagi. Kadang kala ingin menyerah, namun aku masih waras untuk tidak mengakhiri hidup dengan...