Di dalam ruang operasi yang steril, cahaya lampu menyala terang menghadirkan suasana yang tegang namun teratur. Alat-alat medis tersusun rapi di sekitar meja operasi, mencerminkan kesiapan tim medis dalam menangani setiap kemungkinan yang muncul selama prosedur medis yang kompleks ini.
Pond memejamkan mata, dengan tubuh yang terbaring rapuh di atas meja operasi, tak terbantahkan bahwa ia merasakan campuran antara ketakutan dan harapan mengalir dalam dirinya begitu deras. Tepat disebelahnya, sang istri merupakan sosok yang akan menerima donornya benar-benar tak sadarkan diri. siap untuk memberikan sebagian dari dirinya demi kesempatan hidup yang baru bagi pria kesayangannya. Pond menyerahkan segalanya.
Dengan persiapan yang teliti dan ketegangan yang terasa di udara, tim medis bersiap untuk memulai proses yang sangat kompleks ini. Setiap gerakan dilakukan dengan hati-hati, menandai awal dari perjalanan yang akan mengubah takdir dua orang yang terlibat.
"Phu...
Jika hari ini tuhan mengizinkanmu hidup aku mohon hiduplah dengan baik. Aku tak akan pernah hidup tanpamu, aku tidak bisa, karena aku tak sekuat dirimu. Bila memang ini yang terakhir, izinkan aku mengatakan cinta berulang kali dalam mimpi. Izinkan aku hadir dalam tidurmu sayang, izinkan aku mendatangimu untuk melepas rindu.
Phu, terima kasih telah mengizinkanku mencicipi kebahagiaan. Terima kasih telah memberiku kesempatan memimpin keluarga kecil kita, sayangku... Jangan terlalu lama tidur, orang-orang yang menyayangimu akan menangis."
Dengan konsentrasi yang memenuhi setiap gerakan, dokter nampak menangani setiap tahap proses operasi transplantasi otak dengan ketegangan yang terasa di setiap ujung jarinya. Meskipun tegang, keputusannya tetap tegas, dan fokusnya tidak pernah terpecah untuk memastikan kesuksesan dari prosedur yang sedang dijalani.
suasana hening yang hanya terganggu oleh bunyi alat medis yang berdering. Cahaya lampu operasi menyinari meja operasi, menciptakan bayangan yang terpantul di dinding. Setiap gerakan tim medis dilakukan dengan presisi yang tinggi, mengikuti protokol dengan teliti. Suasana tegang terasa di udara, tetapi harapan menyala di hati setiap orang yang terlibat, menjadikan ruang itu sebagai tempat di mana harapan dan ketegangan bertemu.
Tubuh Pond tersentak kuat, kegelapan yang mendalam, bagai terapung di antara benaknya sendiri dan dunia nyata. Tiap detik terasa seperti sebuah perjuangan yang tak kunjung usai. Tubuhnya terasa lemah untuk menahan diri agar tak menyerah pada panggilan kematiannya yang semakin dekat.
"Dokter... Tuan Pond Naravit"
Pria disana menghela nafas, menatap dari arah cukup jauh "transplantasi telah berjalan lancar, pendonor memberikan kehidupannya. Dari kita Penghormatan untuknya begitu dalam..."
cahaya perlahan memudar, ruang operasi menjadi saksi bisu atas pengorbanan yang menyedihkan. Wajah-wajah penuh kekecewaan memenuhi ruangan, sedangkan hati-hati yang penuh harapan hancur berkeping-keping. Dalam keheningan yang menyayat hati, pria itu telah menemui akhirnya di atas meja operasi.
"Phu, lihat aku di luar jendela, aku akan datang membawa koran di pagi hari"
Setelah selesainya prosedur yang rumit, suasana ruang operasi mulai mereda. Cahaya lampu operasi yang terang mulai redup, menandakan akhir dari perjuangan yang panjang. Suara alat-alat medis yang berhenti bergerak menciptakan keheningan yang menyelubungi ruangan, sementara tim medis menghela nafas lega, menandakan bahwa tahap paling kritis telah berakhir.
Mereka menundukkan kepala, mengutarakan doa sebelum akhirnya mendorong satu ranjang pasien keluar. "Pasien atas nama Pond Naravit Lertratkosum dinyatakan meninggal pada selasa tanggal 23 bulan Agustus tahun 2017"
raungan tangis terdengar begitu mengguncang hati, kakek dan nenek meratapi kepergian menantunya yang tak tergantikan. Tangis mereka mengalir deras, mencerminkan patah hati yang tak terbendung. Di dalam keheningan yang penuh dengan kesedihan, suara tangis kencang mereka menggema di sepanjang lorong, menjadi nyanyian kesedihan atas kehilangan yang tak terlupakan.
Dengan langkah yang berat, perawat mendorong ranjang pasien. Setiap putaran roda ranjang itu terasa seperti beban yang tak terlupakan bagi mereka, sementara ranjang itu sendiri menjadi saksi bisu atas akhir dari sebuah kehidupan yang telah berakhir.
.
.
.
.
.Desember 2018
Pagi tiba dengan gemerlap salju yang turun dengan lembut dari langit, menutupi segala yang terlihat dengan selimut putih yang bersih. Cahaya matahari pagi yang melintas di antara awan-awan memberi sentuhan keemasan pada setiap butir salju, menciptakan pemandangan yang memukau. Udara segar dan dingin menyegarkan nafas, sementara kesunyian pagi hanya terputus oleh gemericik lembut langkah-langkah yang menelusuri.
Dengan hentakan kaki menggeliat dari kesejukan pagi, lelaki manis nampak mendekati jendela kamar dengan perasaan yang penuh kekaguman. Pandangannya terpaku pada tumpukan salju yang menutupi halaman rumah dengan lembut, menciptakan panorama musim dingin yang menakjubkan. Dia mengusap matanya dengan wajah keheranan, sempat menatap cermin sekilas wajahnya sembab seolah habis menangis lama.
Phuwin merasa begitu hampa, memandang hujan salju yang turun dengan lembut dari langit tanpa senyuman, menciptakan tirai putih yang menyelimuti dunia di luar. Dalam keheningan yang menyedihkan, ia merasakan kerinduan yang dalam tanpa alasan, sebuah keinginan yang tak dapat diungkapkan, terpendam di dalam hatinya.
Setiap butir salju yang jatuh seolah-olah menjadi pengingat akan kenangan yang telah berlalu, tapi, kenangan apa? Tak bisa dipungkiri seolah ada yang memenuhi hatinya dengan rasa sakit yang sulit diucapkan.
"Tuan muda, waktunya sarapan"
Phuwin mengangguk pelan, kemudian melangkah menuruni tangga menuju lantai bawah rumahnya setelah dipanggil oleh si pelayan. Bau harum dari dapur menyambutnya saat ia melangkah masuk ke ruang makan.
"Bibi Chai?"
Wanita paruh baya mengangguk.
"Aku akan mengingatnya sekarang, Bibi Chai... Nama anda Bibi Chai"
"Silahkan makan, tuan muda..."
"Humm... Terima kasih Bibi Chai"
Dia melangkah pergi dengan cepat, wajah tuanya dipenuhi oleh air mata, dari arah dapur ia mengamati dengan penuh kekhawatiran saat tuannya mencicipi hidangan sarapan. Tangisnya mengisyaratkan rindu yang benar-benar berat untuk ditanggung.
"Bibi Chai..."
"I-iya tuan..."
Phuwin menatap dengan ekspresi kosong kemudian menunjuk kincir angin merah kecil di dalam vas bunga ruang tengah. "Itu milik siapa?"
tiba-tiba tangis wanita paruh baya itu pecah dengan kencang, memenuhi ruangan dengan kesedihan yang melankolis. Setiap isak nya terdengar seperti seruan kehancuran, mengungkapkan beban emosional yang terlalu berat untuk ditahan.
"Bibi Chai? Anda kenapa?"
wanita itu meninggalkan ruangan tanpa sepatah kata pun.
Phuwin mengedipkan mata, penuh kebingungan.
Selang beberapa saat acara sarapannya selesai, Phuwin akhirnya menaiki setiap anak tangga rumah dengan perasaan yang akrab. Setiap pijakan membawa kenangan yang mengalir dalam pikiran, cahaya yang samar-samar dari langit-langit koridor memberi sentuhan dingin pada perjalanan singkatnya menuju ke kamar.
Phuwin melangkah, kaki jenjangnya menuntun tanpa arah, berhenti di depan jendela kamar matanya menyipit. Setiap pagi, suara lonceng sepeda akan berbunyi.
"Lonceng sepeda apa?" Wajah manisnya kebingungan, mengapa dia menyusun alur yang bahkan tak pernah hadir dalam ingatannya?
"Apakah ada legenda tentang dua malaikat muncul di permukaan salju? Aku selalu memimpikannya"
Kerinduan menguliti tubuhnya, kadang ia bertanya kepada siapa rindu ini sebenarnya akan berlabuh? Namun, sampai dimana salju terakhir telah turun, ia tak kunjung mendapat jawaban.
.
.
.
.
.
.
.ENDING
makasih semua buat support nya, sekali lagi maaf sebanyak-banyaknya jika cerita ini belum memuaskan dan banyak pending karena kesusahan mikir alur, tapi buat kedepannya di cerita Pondphuwin lain, aku bakal usaha lebih baik lagi🙏🏻 jangan lupa tinggalin jejak, dan buat komen-komen kalian aku selalu semangat, makasih sebanyak-banyaknya 🤗, sampai jumpa di cerita Pondphuwin selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wishes And Dreams [Pondphuwin]18+[END]
Fanfiction"Lonceng sepeda apa?" Wajah manisnya kebingungan, mengapa dia menyusun alur yang bahkan tak pernah hadir dalam ingatannya? "Apakah ada legenda tentang dua malaikat muncul di permukaan salju? Aku selalu memimpikannya" Kerinduan menguliti tubuhnya, ka...