Bahasa baku...
Jerman 1912
***
Musim gugur, artinya sebentar lagi akan menghadapi dinginnya musim salju. Ah, sebenarnya sama saja. Musim gugur tahun ini bahkan lebih dingin dari yang ia ingat ketika musim gugur tahun lalu.
Daun-daun yang menguning dari atas pohon akan jatuh dan berserakan di jalan. Lalu nanti akan ada pesta panen yang diadakan. Semua orang bersuka cita dan menyambut baik walau udara membuat kulit menggigil.
Matanya melirik sekitar jalanan yang lumayan lengang. Langkahnya perlahan menyusuri jalanan danau Constance. Cantik sekali walau tidak terbias matahari. Cuaca lumayan mendung dengan angin yang ribut menghasut telinga.
Febri menghela napas panjang, uap mengepul menandakan hawa yang semakin mendingin. Tangannya menggenggam sebuah kertas usang yang sudah terinjak oleh beberapa kaki manusia.
"Masih ada tidak, ya?" Ucapnya pelan. Bertanya pada sang kertas yang memungkinkan tak akan menjawab apapun.
Febri hanya ragu, bagi orang asia semacam dirinya melamar pekerjaan di negeri orang tentu sangat susah. Terkadang mereka lebih memilih untuk tidak mau menambah pekerja sesaat setelah melihat wajahnya.
Entah, Febri tidak akan bilang mereka rasis atau memang tidak ada pekerjaan yang tersedia. Karena ia juga paham betul, tahun ke tahun, perekonomian negara lumayan sulit ditengah peliknya menyambut peperangan.
Jerman mengalami krisis ekonomi dan politik. Belum lagi pecahnya berbagai peperangan mengakibatkan tidak stabilnya keadaan negara. Masuknya rezim baru dalam pemerintahan menggeser sistem kasta dan kekaisaran membuat negara ini menjadi kacau, banyak rakyat Jerman yang kehilangan kepercayaan pada kemampuan pemimpin mereka dalam memerintah.
Ah, mungkin termasuk dirinya.
Walau Febri tidak terlalu paham, dia hanya kesal karena tidak bisa mendapat pekerjaan dengan mudah. Sudah dua tahun ini.
Umurnya sudah 26 tahun. Lumayan matang.
Sang ayah membuatnya berpindah ke negara ini ketika usianya masih 4 tahun. Ketidakpahaman bahasa dan kultur budaya menjadi perang tersendiri bagi masa kecilnya yang lumayan kelam.
Tanpa adanya surat resmi, ilegal, namun sang ayah memang mempunyai pekerjaan yang lumayan ketika masih sehat. Itu sudah 5 tahun yang lalu. Ayahnya mengalami kecelakaan dan sekarang mengidap asma akut yang lumayan parah.
Febri tidak pernah sekolah, ah, jangan ditanya kenapa. Karena dia tidak bisa diterima di lingkungan apalagi ketika di sekolah. Febri belajar secara otodidak tentang menulis, berhitung, dan menggambar.
Ketika masih remaja, dia menjadi pelukis jalanan yang uang recehnya lumayan untuk ia tabung.
Namun sekarang tabungan itu habis, ayahnya perlu pengobatan yang besar dengan uang yang besar juga. Febri memutuskan pergi bekerja walau ia hanya dapat bertahan paling lama 5 bulan dalam satu pekerjaan.
Sudah ratusan kali, mungkin lebih dari itu, ini bermasalah dari wajahnya. Febri tumbuh menjadi remaja seperti orang Indonesia pada umumnya. Kulit kuning langsat, wajah oval, mata kecil dengan hidung yang tidak terlalu mancung, dan pendek.
Febri akui itu, namun yang lebih bermasalah adalah, dia tumbuh dengan bentuk tubuh yang bisa dikatakan menggoda.
Ia pikir itu adalah anugerah karena setiap wanita pasti menginginkan bentuk tubuh ideal yang digemari para laki-laki. Namun ternyata itu masalah baginya.
Berkali-kali menjadi korban pelecehan di tempat umum, perampokan, juga korban pemerkosaan. Febri pernah mengalami masa pahit itu di kala beranjak remaja. Mengakibatkan rasa tidak percaya diri yang parah bahkan trauma yang mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Oneshoot
Short Storykumpulan cerita oneshoot, atau bisa saja berchapter pendek. Dari cast Pemuas Mereka dengan berbeda karakter, tempat cerita, jalan cerita, maupun setting waktu. rate 17+, 18, 21+. ⚠⚠🔞🔞