POV Kirana
Pandanganku tak tentu melihat ke arah mana sedang pikiranku melayang kembali ke hari kemarin.
Tepatnya dua hari sebelum kegiatan advokasi mahasiswa baru. Aku berusaha untuk tetap profesional menghadapi para mahasiswa yang keberatan dengan golongan UKT yang mereka peroleh.
Golongan UKT dirasa tak sesuai dengan pendapatan orang tua mereka, bahkan ada yang sudah merencanakan melakukan pengunduran diri hanya karena tak dapat membayar UKT.
"Kalian kok suudzon sekali sama kampus? Uangnya kan kalian nikmati juga dalam bentuk fasilitas, ya tidak usah protes kalau UKTnya mahal. Lagipula ini kan kampus swasta."
Gabby hampir saja maju menyuruduk staf Badan Keuangan (BAUK) kampus jika saja aku atau Ayuning tidak menahannya dan kami kembali menghadapi sekumpulan mahasiswa baru yang gelisah menunggu jawaban pihak kampus.
"Untuk saat ini, kampus menyediakan opsi penangguhan jika kalian belum bisa membayar UKT sekarang." Jawabku, meski tak lekas membuat mereka bernafas lega.
Aku duduk di kursi taman sekitar, bergabung dengan tim advokat dari berbagai jurusan. Kami beristirahat sejenak setelah 2 hari 1 malam tak tidur melayani keluhan mahasiswa baru yang terdampak UKT golongan tinggi.
"Gue lebih kasian yang bokapnya PNS. Itu kampus stres kali ya, dengan gaji kurang dari 4 juta tapi dikenain golongan 8."
"Gue lebih kesian sama yang kurang mampu sih. Ada kan yang advokasian ke gue, bukan nanya UKT tapi soal beasiswa. Lu tau kan beasiswa kampus kita lumayan rumit persyaratannya, belum ada iuran sekian ratus ribu buat uang bangunan dan lain-lain. Sedangkan posisi mahasiswa ini, dia sama sekali ga mampu untuk sekedar bayar iuran itu padahal dia memenuhi syarat untuk mendapatkan beasiswa."
"Trus sekarang gimana? Lo tetep advokasiin dia kan ke BAUK? Jangan sampe lepasin dia Ren, lo tau kan anak beasiswa tuh pinternya ga ngotak? Mereka tuh calon-calon unggul buat kampus dan banyak dari mereka yang ambis sampe bawa nama baik kampus dalam skala event internasional."
Rendy Warsito menanggapinya dengan gelengan. Mahasiswa jurusan Akuntansi itu menyeruput chocolate frappucinonya dengan berisik, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung timbul dari kulit wajahnya yang putih nan bening.
Si chinese kelihatan sekali kelelahan usai dua hari meng-advokasi mahasiswa baru. Belum lagi ditambah pergulatan emosi tat kala ada mahasiswa yang berusaha keras mengajukan banding namun malah memutuskan mengundurkan diri karena pasrah.
Alasan mengharukan seperti kampus impian ataupun tertolak Perguruan Tinggi Negeri tak luput jadi bumbu penambah rasa yang membuat perasaan tim advokat campur-aduk.
Sejak hari kemarin, karena emosi yang tidak stabil serta lelah yang tak kunjung diistirahatkan, kami saling mengaku kerap menangis di malam hari karena sebab-sebab remeh. Kami akui bahwa kami tak sekuat dan se-profesional itu menghadapi konflik batin cuman karena pasal keuangan mahasiswa baru dan kampus.
Perasaanku yang sedari lama terguncang, sesekali turut terseret dalam emosi yang berkecamuk saat ini. Tapi salahku juga, malah memutuskan jadi simpatisan kala LKM menawariku pekerjaan ini.
Beruntung ada Ayuning dan Gabby yang membantu. Dua curut itu pada akhirnya menginap di kostku karena mereka harus bolak-balik meng-advokasi mahasiswa baru bimbingan mereka, belum lagi Gabby ikut kepanitiaan pengabdian sosial yang mengharuskannya rapat sampai tengah malam dan tidak memberikannya kesempatan untuk pulang ke rumahnya yang lumayan jauh itu.
Kalau Ayuning, dia cuman tidak mau lelah di jalan karena sudah tentu jalanan Jakarta macet tiap sore. Dan Ayuning, baru bisa sampai di rumahnya pukul 9 atau 10 malam lebih, menghabiskan waktunya di jalan sekaligus memangkas waktu istirahatnya yang berharga itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALTER: Winrina Fanfiction
FanfictionSepenggal kisah balada mahasiswa Abad 21. Alter, mengupas isu masalah sosial yang terjadi pada masa kini. Dibalut dengan romansa cinta antara dua mahasiswi yang hadapi diskriminasi sebagai pasangan lesbian, Wilona Friska dan Kirana Dewi, bersama-sam...