Epilog

79 6 0
                                    

Ini kisah penutup. Terima kasih udah ngikutin Senyum dari Saguna sampai selesai.

Jangan lupa tinggalkan jejak. Kasih bintang, komen, kritik dan saran. Biar karya aku berikutnya bisa lebih baik lagi.

Happy reading~




••••



Kasih terus merapalkan doa di depan ruang operasi. Hari ini adalah jadwal operasi Mada setelah mendapatkan donor jantungnya. Banyak harapan yang kasih sebutkan dalam doanya, terutama keselamatan anak semata wayangnya itu.

Ia juga tidak sabar untuk menyaksikan dengan matanya sendiri sang anak bisa tumbuh seperti anak lainnya. Kasih ingin aktivitas Mada tidak terhalangi lagi oleh kesehatannya.

Ketika melihat lampu yang ada di atas pintu mati, lantas wanita itu segera berdiri. Dokter pun keluar dari ruangan operasi.

“Bagaimana dengan operasi anak saya, Dok?” tanya Kasih yang tidak sabar ingin mengetahui keadaan Mada.

“Alhamdulillah, operasi berjalan lancar, Bu.” Dokter itu tersenyum, “tunggu sebentar ya, Bu! Mada masih dipersiapkan untuk pindah ruangan.”

Kasih mengangguk dengan wajah berseri. Jelas sekali kalau wanita itu bahagia.

“Saya permisi dulu,” ucap Dokter, kemudian meninggalkan Kasih sendirian.

“Kasih!” suara panggilan itu membuat Kasih menoleh ke arah luar koridor. Wulandari datang bersama suaminya, “bagaimana keadaan Mada? Maaf saya sama Kang Andreas terlambat ke sini.”

Kasih dengan senyum lebar menjawab, “Nggak apa-apa, Alhamdulillah, Ceu. Operasi Mada berjalan lancar. Baru saja Dokter memberitahu saya.”

Andreas yang sudah ada di dekat Kasih bergumam mengucapkan syukur. Wulan yang ikut bahagia merangkul Kasih.

“Alhamdulillah, saya juga ikut senang. Akhirnya, Mada bisa hidup dengan jantung yang sehat.”

Perlahan senyum kasih memudar dan kini matanya berkaca-kaca. Ia memeluk Wulan, “Ini juga berkat Saguna yang mendonorkan jantungnya. Terima kasih ya, Ceu. Saya banyak berutang budi sama keluarga Ceuceu.”

Wulandari dengan lembut mengusap punggung kasih, “Sama-sama, Kasih. Kata Kang Andreas, ini permintaan Saguna sendiri.”

“Iya, Saguna yang berpesan.” Andreas mengulas senyum, “kalau bisa hal ini hanya kita-kita saja yang tau. Biar jadi amal jariah buat Saguna.”

Kasih yang telah melepaskan pelukannya, mengangguk. “Iya, Kang. Saya mengerti.”


•••



“Assalamu’alaikum, Ibun...” ujar Darel di depan pintu rumah yang terbuka, “Om koboy! Ini Darel.”

“Ayah nggak ada!” Seorang gadis dengan rambut lurus sepunggung berkacak pinggang di depan pintu.

“Bohong lo ya?” Darel tidak mempercayai anak perempuan itu.

“Ye, beneran, Kak. Dari tadi belum pulang dari empang. Memang ada perlu apa sama ayah?”

“Yesha... Siapa yang datang, Dek?” teriakan Wulandari datang dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu muncul dengan daster dan celemek yang melindungi tubuhnya.

Yesha menoleh ke sebelahnya, “Kak Darel, Bun. Dia cari ayah. Ayah belum pulang ‘kan Bun?”

“Iya, masih di empang.” Wulan membersihkan tangan dengan celemek ketika Darel ingin mencium tangannya, “kotor tangan Bunda habis masak. Om masih di empang, Rel. Paling bentar lagi pulang. Kalau minggu cuma sampek siang saja di empang. Ada perlu apa memangnya?”

Senyum dari SagunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang