Deza's POV
Ujian semester sudah dekat, tinggal beberapa hari lagi dimulai. Gue dan Joan belajar bersama untuk persiapan ujian.
Oh iya, beruntungnya Cafe sedang direnovasi, jadi kami di-nonaktifkan sementara. Syukur waktunya tepat, semoga Cafe dibuka lagi setelah ujian usai.
Sebenarnya kangen juga, tidak bertemu mereka selama beberapa hari ke depan, terutama Junta. Gue harap ini hanya efek akibat biasanya ia akan menjemput gue di sekolah dan berjalan bersama ke Cafe. Sepertinya dia juga sibuk untuk ujian mungkin? Tapi semoga bisa bertemu di halte. Halte? Oh tidak-tidak, tidak akan gue pertemukan ia dengan Joan yang sedang tiduran di paha gue yang duduk menunggu bus di halte sedangka ia menonton video pembelajaran.
.
.
.
Sabtu pagi gue menuju rumah Joan, karena kami berencana belajar bersama di rumahnya.
Dulu gue sering masuk ke rumah ini, namun sejak kami saling asing, gue enggan masuk walaupun begitu gue sesekali masuk karena terpaksa dipanggil oleh Mommynya atau mama menyuruh gue mengantar bingkisan ke rumah ini.
Bi surti menyuruh gue untuk langsung ke kamar Joan, karena sepertinya ia belum bangun.
Gue mengetuk pintu kamar, namun tidak ada sahutan.
"Joan?" Panggil gue kembali mengetuk.
Ia membuka pintu dengan hanya memakai boxer, memperlihatkan tubuh indahnya yang terbentuk dengan otot-otot di sana, dada bidang, lengan padat berisi, dan lihat kakinya besar dari betis sampai paha. Padahal gue sering melihatnya saat bilas bareng menggosok punggungnya setelah kelas olah raga namun tetap saja kagum.
"Masuk, gue mandi dulu" Ucapnya dengan suara serak bangun tidur.
Gue masuk, dan melihat kamar yang terakhir gue ke sini dua tahun? Hampir dua tahun lalu. Tidak banyak yang berubah, gue mengamati tiap sudut kamarnya, bersih seperti biasanya, dan ada yang menarik perhatian gue, foto-foto dua anak kecil dan foto-foto dua remaja. Tidak lain adalah kami.
Terlihat di foto, Joan waktu kecil memang menggemaskan, memasang ekspresi jutek sedangkan gue tersenyum di sampingnya. Lalu ini saat kami berenang, gue dengan pelampung bebek, sedangkan ia dengan pelampung hiunya. Bergeser ke foto selfie dua remaja, foto gue menarik kumis tipis Joan yang mulai tumbuh karena gemas sedangkan ia merasa kesakitan. Lalu foto ia yang menusuk lesung pipi gue yang sedang tidur.
Melihat foto-foto tersebut membuat gue kembali memutar ingatan hangat masa lalu kami berdua yang menyenangkan.
.
.
.
"Jadi soal seperti ini menggunakan rumus yang ada akarnya" Joan menjelaskan kepada gue dengan tenang.
"Ah gue paham, dan soal yang ini juga samakan? Awh!" Joan mengetuk kepala gue dengan pensilnya.
"Beda, lihat dulu soalnya, apa yang diminta. Sekarang lo coba kerjain yang ini dulu" Ucapnya menuntun. Joan memang pintar, bahkan dari kecil. Berbeda dengan gue yang pas-pasan.
Gue mengejarkan soal dengan cermat, fokus karena takut menjadi beban untuk Joan.
"Sudah, 175"
"Salah" Ucapnya kembali ngetuk kepala gue.
Kembali gue melihat jawaban gue, mengotak atik rumus dan menghitung ulang kembali.
"Sudah, 69"
Joan mendekat dan memeriksanya. Gue menatapnya yang serius memeriksa jawaban gue, wajahnya kenapa sangat tampan? Tanya gue kagum.
KAMU SEDANG MEMBACA
(BL/BxB) What Are We?
Novela JuvenilSampulnya buram kan? Sama kayak kisah di dalamnya😭. Sepasang teman kecil, salah satunya menyimpan rasa dan akhirnya mengutarakannya. Namun itu justru awal mula masalah yang akan ia hadapi.