Untuk kesekian kalinya, rasanya lingkaran ini tidak pernah terputus. Hari demi hari yang aku habiskan buat bernafas juga cuman kenangan pahit yang aku tinggalkan dan belum pernah kubuka kembali. Terkadang aku berpikir, walaupun aku mencoba kembali, apakah ada arti dibalik semua ini? Apakah pada akhirnya mimpi ku akan terwujud layaknya sebuah hadiah yang diberikan oleh santa pada malam natal? Atau, sesungguhnya semua ini tidak ada artinya sama sekali?
Suatu ketika seseorang berkata kepadaku bahwasannya dunia ini memang tidak adil. Orang dilahirkan dengan pengetahuan yang berbeda dan dengan kondisi yang berbeda, tanpa menyadari sesungguhnya bahwa hal itu adalah pemberian yang sangat berarti di hidupnya.
"Aku harap ini tidak terjadi padaku", "Aku harap aku menjadi orang itu", "Aku harap aku terlahir seperti dirinya"
Omong kosong.
Bicara seakan tau bagaimana orang tersebut berjalan, bergerak, bahkan berusaha, padahal kenyataannya tidak ada yang tau. Pada akhirnya segala hal tentang perbedaan ini hanyalah masalah perspektif, tidak ada sebuah acuan bahkan patokan untuk membandingkan mana yang benar dan yang salah. Perspektif yang menyebabkan seseorang tersakiti dan seseorang bahagia.
Perspektif yang pada akhirnya hanyalah sebuah pedang bermata dua, sebuah pemberian, dan sebuah alat untuk menyakiti orang lain.
Untuk mengatasi hal ini, pemikiran objektif diturunkan dari keilmuan manusia yang tidak pernah berhenti menyelidiki kebenaran yang disetujui semua orang. Melalui bukti dan kasus sesungguhnya manusia merumuskan apa yang benar dan apa yang salah.
Pada akhirnya disinilah aku, duduk di kamar aku sendiri, memikirkan apakah ini adalah pilihan yang benar atau salah. Apakah yang aku lakukan ini sesungguhnya sebuah hal yang disegani orang lain atau tidak, dan memikirkan apakah aku sebenarnya sudah berubah dari diriku yang dulu tertidur dan terlelap.
Seseorang pernah berkata kepadaku, "Kamu udah berubah dan berkembang sangat jauh". Dalam hatiku sendiri, jujur saja aku merasakan kesenangan. Sebuah titik akhir dimana pada akhirnya walaupun usaha yang aku berikan belum maksimal, aku sudah tidak sama dengan diriku sebelumnya.
Tapi, walaupun seperti itu, aku tidak ingin mengakui diriku sebagai seseorang yang berhasil. Hal ini karena, pada kenyataannya, aku belum bisa mengakui diriku berubah dari diriku yang sebelumnya. Hal ini terjadi karena usaha yang aku berikan. Aku merasa, usaha yang aku berikan belumlah maksimal, sehingga pada akhirnya hasil yang aku miliki saat ini belum sesuai dengan apa yang aku sebenarnya inginkan.
Ini, bukanlah masalah aku tidak bersyukur atau bagaimana. Aku menerima diriku yang berada pada saat ini, tapi bagaimana jika kondisinya diriku yang saat ini memang secara objektif, masih salah? Aku belum bisa menerimanya. Aku... belum bisa menerimanya.
Rasanya pahit, setiap hari terbangun untuk menyadari bahwa kemarin baru saja melakukan kesalahan. Sebutir kesalahan yang aku rasa sulit untuk aku ubah keberadaanya.
Aku merasa bahwa, self-control yang aku miliki malah tidak ada sama sekali keberadaannya. Bahwasannya inilah sumber utama mengapa aku terus menerus gagal menghadapi segala hal. Gagal mengeluarkan usaha maksimal. Gagal memiliki keinginan yang kuat. Gagal melawan diriku sendiri dalam menjadi seorang yang gagal.
Ini, bukanlah usaha untuk menyadari seberapa menyedihkannya diriku sendiri, tapi yang aku tau, ini adalah usaha untuk mengetahui bahwa aku akan belajar dari setiap kegagalan yang telah ku perbuat.
Dengan aku menyadari self-control mungkin aku bisa melawan kesalahan yang telah aku perbuat.
Pada akhirnya, musuh yang aku miliki bukanlah pada orang lain.
Musuh itu hidup dalam nafasku sendiri.
Diriku sendiri.