6

552 29 654
                                    

"Sst, Dam." Raka setengah berbisik ketika kini menurunkan kedua tangannya yang mulai terasa pegal.

"Hmm." Sadam menjawab acuh sambil tetap menatap tembok di depannya. Kedua tangannya mengepal terangkat sejajar dengan kepalanya.

"Ini serius kita dihukum kayak begini?"

Sadam menghela nafasnya lalu menurunkan kedua tangannya yang juga mulai terasa pegal. "Ya kalau dia nggak serius kita nggak mungkin udah dua puluh menit begini terus." Pria itu kini menatap Raka yang sedang menatapnya.

"Sadis amat bini lo."

"Tapi gue mending dihukum kayak gini tau, Ka. Daripada dia tiba-tiba kabur ke London kayak kemaren. Bisa kelar hidup gue."

"Yaa tapi kalau nggak ditinggal ke London kemaren juga lo nggak bakalan nyadar gimana pentingnya dia di hidup lo. Iya kan?"

Sadam tersenyum jenaka. "Iya sih. Ah tapi nggak deh. Nggak bakalan dia pergi lagi. Kan sama-sama bucin nih gue sama dia sekarang."

"Heleh. Bucin tapi kalau kelakuan lo ke mantan masih welcome kayak kemaren juga pasti ditinggal lagi lo sama dia." Cibir Raka. "Kalau keulang lagi nggak bakalan gue bantuin lo kayak kemaren."

"Lo tega banget sama sahabat sendiri, Ka. Nggak gue bantuin sama mbak Bella loh."

Raka tertawa pelan membalasnya. Ya, dinamika persahabatannya dengan Sadam yang sempat terputus memang akan selalu semenyenangkan ini. Selalu mencari cara untuk bertengkar tapi tak pernah benar-benar saling membenci.

Masih jelas diingatannya bagaimana ia sempat mengira bahwa ia sangat membenci Sadam karena Sherina tetap memilih temannya itu. Tapi nyatanya tidak seperti itu. Rasa benci itu ternyata hanyalah ekspresi kekecewaan Raka pada sahabatnya tersebut karena tak cukup berani untuk memperjuangkan apa yang sudah menjadi miliknya dari awal.

"Kenapa lo senyum-senyum gitu?" Sadam mengernyit heran.

"Lah terserah gue. Bibir bibir gue." Cibir Raka membuat Sadam terdiam.

Hanya beberapa detik sebelum kemudian ayah si kembar itu mengunci leher sahabatnya tersebut menggunakan lengannya sementara Raka sendiri menjambak rambut temannya itu.

Namun ketika mereka mendengar suara pintu kamar si kembar yang dibuka dari dalam, keduanya buru-buru saling melepaskan dan kembali berdiri sambil mengangkat kedua tangan menghadap tembok. Bersikap seolah sejak tadi mereka sedang menjalankan hukuman dengan baik.

Sherina berdehem sekali ketika kini ia bersedekap di balik punggung kedua pria dewasa tersebut. Ada rasa geli yang sebenarnya berusaha ia tekan melihat bagaimana Raka dan Sadam menjalankan hukuman seolah mereka adalah anak kecil berusia tujuh tahun yang penurut.

"Udah pada tahu salahnya dimana?" Perempuan itu terdengar tegas. Membayangkan bahwa ini yang akan ia lakukan pada anak-anaknya beberapa tahun lagi.

"Ngajak anak-anak main perang-perangan." Jawab Sadam menggerutu pelan.

Begitupun dengan Raka. "Ngeberantakin lemari baju si kembar buat nyari kostum buat perang-perangan."

Sherina menghela nafas. Ya Tuhan dia benar-benar merasa seperti ibu-ibu dengan dua paket anak kembar. Bedanya yang sedang berdiri di hadapannya kali ini adalah anak kembar yang lebih susah di atur daripada Satria dan Sakha.

Ia kemudian menunjukkan medical marker miliknya yang ia temukan tergeletak di lantai saat dia baru datang tadi. Sherina ingat betul bahwa ia sudah menyimpan benda itu dengan benar dan aman di sudut tersendiri di dalam walk in closet mereka bersama jas putih kebanggaanya. "Ini kenapa bisa ada di lantai? Terus itu muka anak-anak kenapa bisa cemong begitu? Kalian pakai ini buat ngegambar di muka mereka kayak gitu?"

FOR YOU 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang