Chapter 2

6 0 0
                                    

Thea duduk di bangkunya dan melihat ke luar kelas tanpa mendengarkan penjelasan guru di depan. Terdapat beberapa sesi MOS yang diisi oleh guru, semacam pengenalan kemahasiswaan, akademik, dan lainnya. Tapi penjelasannya sangat membosankan. Lagipula setiap murid sudah mendapat buku panduan sekolah, untuk apa dijelaskan ulang?

Thea mengeluh kesal ketika melihat sosok yang merusak pemandangan luar. Galen lewat di depan kelas Thea dan berhenti tepat di daerah pandang Thea. Galen menatap tajam Thea setelah tahu gadis itu tidak menyimak penjelasan gurunya. Thea menantangnya dengan menatap tajam balik. Dengan raut dinginnya, Galen menunjuk ke arah depan kelas dengan dagunya, mengarahkan Thea agar menyimak gurunya. Thea berdecak dan kembali memperhatikan gurunya dengan bertopang dagu. Galen menatapnya beberapa detik memastikan Thea benar-benar menyimak sebelum pergi. Thea bersumpah manusia itulah yang akan pertama Ia jauhi di sekolah ini.

Guru mengisi kelas hingga bel istirahat siang. Thea sejujurnya sudah sangat amat bosan karena aturan konyol MOS. Tidak boleh bawa gadget, tidak boleh bawa novel, intinya tidak boleh bawa apapun selain berhubungan dengan MOS dan pelajaran. Thea berdecak kesal. Lebih baik Ia kembali ke atap untuk memperbaiki mood-nya. Thea kembali naik ke atap untuk sekedar bersantai. Untungnya langit hari ini berawan dan banyak pohon di kawasan sekolahnya membuat suasana sejuk di atap. Thea duduk menyender pada dinding yang membuatnya tertutup bayangan dinding tersebut. Thea memejamkan matanya, menikmati sejuknya atap sekolah.

Baru beberapa menit memejamkan mata Ia merasakan ada bayangan di depannya. Kalaupun bayangan awan bergerak, kenapa terasa sangat nyata? Ia membuka matanya dan disambut oleh tatapan dingin Galen yang berdiri di depannya. Thea mengacuhkannya dan kembali menutup matanya. Ia merasakan Galen berpindah ke sisi kirinya dan duduk di sampingnya. Thea sudah muak dan mengacuhkan Galen sepenuhnya. Asalkan Galen tidak mengganggunya, keberadaannya bukanlah masalah bagi Thea.

"Kenapa lu punya kunci atap?" Suara Galen memecahkan keheningan.

"Bukan urusanmu." Jawab Thea tanpa membuka matanya.

"Ini tempat gue, jadi ini urusan gue."

"Then, this spot is not yours anymore. Belajar berbagi." Kesabaran Thea benar-benar diuji ketika bertemu Galen. Entah kapan akan meledak, yang jelas Thea sudah muak.

"Jawab, darimana lu dapet kuncinya?" Galen sepertinya tipe yang suka mengajak ribut orang. Ia kembali buka suara dengan tatapan tajamnya.

Thea jengah dan melihat balik Galen, "bisa nggak, nggak usah peduliin hal itu dan nikmatin suasananya?" Angin berhembus memainkan rambut panjang Thea, menunjukkan kilauannya. Matahari yang menyinari membuat warna asli rambutnya terlihat, coklat.

"Bentar," Galen memegang rambut Thea. "Lu melanggar aturan MOS. Rambut lu coklat, lu harus kena hukuman."

"Gue nggak warnai rambut gue. Ini warna asli rambut gue dan nggak usah pegang-pegang." Thea murka. Tidak peduli dengan sopan santun, Ia menepis tangan Galen.

"Buktikan." Tantang Galen sambil menatap Thea dengan tatapan kematiannya.

"How?"

"Apapun. Buktikan kalau lu gak warnai rambut."

"Ada foto waktu gue kecil di handphone gue. Tapi kan gue nggak bawa handphone."

"Gue nggak mau tau." Titah Galen

"Ck. Ketemu gue pas pulang sekolah. Handphone gue ada di mobil." Thea membuang pandangannya. Tangannya terlipat di depan dada, kesal. Emosi Thea sudah di ujung tanduk.

Starlight Dreams: Fragment of the StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang