16. Anak yang malang

47 25 32
                                    

' Karena pada hakikatnya kehidupan ini tentang menyambut kedatangan dan mengikhlaskan kepergian '

---

"Apa hadiah itu sudah terkirim?" Tanya Dave memastikan. Secangkir kopi yang tersaji lalu ia nikmati dengan tenang. Dave menunggui jawaban Ashley selanjutnya.

"Sudah, tuan." Jawab pria berkacamata itu. Keheningan melanda untuk beberapa saat hingga sang tuan kembali membuka suara.

"Pekan depan kirim beberapa orang ke pabrik itu. Lancarkan serangan ketiga." Titahnya penuh penekanan. Senyum miring yang kembali terpatri menghiasi sudut bibirnya. Bahkan ia terlihat puas hanya dengan membayangkan reaksi orang yang akan diberinya hadiah itu.

"Baik, tuan." Ashley mengangguk paham.

"Aku benar-benar tak sabar memberinya kejutan lagi." Ungkap Dave masih dengan senyumnya yang penuh arti.

Tidak ada pembahasan lain setelahnya. Ashley kemudian pergi meninggalkan ruangan setelah dirinya menyerahkan diska lepas yang beberapa waktu lalu Dave butuhkan.

"Sial. Aku benar-benar tak sabar untuk pekan depan." Monolognya.

...

===

Lusuh, tidak ada yang peduli dan tidak ada yang bisa melindungi. Sungguh malang anak berusia sepuluh tahun itu.

Setelah kehilangan kedua orangtuanya, ia hidup di jalanan tanpa adanya perlindungan. Beratapkan langit dan beralaskan tanah. Ia tak punya rumah yang bisa melindunginya dari panas dan hujan. Dari dinginnya malam dan teriknya matahari di kala siang. Ia terlunta-lunta tanpa memiliki tujuan.

Lapar dan haus. Anak itu memeluk lututnya di dekat jembatan. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan selain meminta belas kasihan. Mereka yang mempunyai empati padanya akan memberinya makanan atau bahkan beberapa koin uang. Sedangkan mereka yang tidak peduli hanya menatapnya jijik lalu segera melenggang pergi.

"Hey kau! Jangan berdiam di sini! Cepat pergi! Lihat! Jualanku jadi sepi karena keberadaanmu!"

Pengusiran yang sudah biasa ia dapatkan. Para pedagang itu menganggap dirinya sebagai kesialan yang membuat bisnis mereka jadi tidak berjalan lancar. Padahal belum tentu juga dagangan mereka tidak laku karena keberadaannya. Bisa jadi karena para pembeli itu tidak tertarik saja untuk membeli barang dagangan mereka.

Tapi apa boleh buat. Daripada ditendang terus-menerus dan menjadi bahan tontonan, anak itu memutuskan pergi. Menjauh dari jembatan dan ia baru sadar bahwa langit sudah menjadi gelap. Tubuh kecil ringkihnya terkadang tertabrak dan terdorong oleh beberapa orang. Tak ada permintaan maaf dari mereka setelah menabraknya. Bagai makhluk yang tak kasat mata. Orang-orang itu tak menganggap keberadaannya.

Keramaian kini berganti menjadi sunyi tatkala ia tiba di sebuah pondok kayu di bawah kaki bukit. Angin berhembus kencang membuat anak itu memeluk tubuh ringkihnya erat-erat. Kedinginan dan kelaparan adalah perpaduan kesengsaraan yang sempurna yang selalu ia lewati setiap malamnya.

Pondok kayu itu ia jadikan sebagai tempat rehat. Pondok kayu milik seorang petani karet. Anak itu segera merebahkan tubuhnya di papan kayu yang dingin. Matanya yang terpejam berusaha keras untuk masuk ke alam mimpi. Namun nihil. Sekeras apapun ia berusaha untuk tertidur, ia selalu gagal. Perutnya yang keroncongan seolah melarangnya untuk tertidur dengan lelap.

Ia pun terduduk kembali dan bersandar pada tiang sembari memeluk kedua lututnya. Perutnya yang terasa perih membuatnya meringis kecil. Anak itu menunduk penuh kesakitan meratapi nasibnya yang malang ini.

Be your priority | Obsession; Love and hate (New story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang