Part 22 [Anger]

3.5K 305 7
                                    

Happy Reading, sorry for typo.

Menjadi nyonya Sakha Pramadana, aku sudah sangat terbiasa dengan undangan pesta yang sering berdatangan setiap bulannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjadi nyonya Sakha Pramadana, aku sudah sangat terbiasa dengan undangan pesta yang sering berdatangan setiap bulannya. Undangan pernikahan, pertunangan, annivarsary, ulang tahun dan acara pesta lainnya di luar nama perusahaan.

Mama bilang aku dan Sakha tak harus datang ke semua pesta, jadi setiap ada surat undangan aku akan mengumpulkannya lebih dulu dan memilah pesta mana yang harus kami datangi. Sakha menyerahkan keputusanku, maksimal dalam sebulan kami harus datang ke lima acara pesta sedangkan biasanya ada lebih dari sepuluh undangan yang datang ke rumah.

Awalnya aku sulit untuk memutuskan, karena aku tak tahu bagian keluarga mana yang dekat hubungannya dengan keluarga Pramadana. Aku harus bertanya dari Mama, dan untungnya Mama selalu mau menolongku.

Sekarang aku sudah tahu kewajibanku sebagai istri konglomerat, aku sudah tahu apa yang harus dan tidak boleh aku lakukan.

Seperti memilih undangan pernikahan dari keluarga Sanjaya, salah satu keluarga yang memiliki hubungan baik dengan keluarga Pramadana. Selain itu, yang jadi pengantin di pernikahan hari ini adalah keponakan dari Om Sergio— suami dari Tante Fatma. Sepupunya Wisnu dari pihak ayah.

Aku sudah sangat terbiasa dengan semua acara undangan pesta yang aku dan Sakha hadiri adalah pesta yang meriah, aura mahal ada dimana-mana. Begitupula dengan acara resepsi pernikahan ini.

Aku dan Sakha baru saja turun dari pelaminan, memberikan selamat pada sepasang pengantin yang sedang berbahagia.

"Lapar gak?" tanya Sakha berbisik di telingaku, karena suara penyanyi terkenal dari ajang pencarian bakat sedang bernyanyi di atas panggung.

"Lumayan," balasku, berbisik di telinganya.

Sakha menarik tanganku ke area buffet dan stand makanan, di sini suara nyanyian tidak terlalu keras sehingga kami tak perlu saling berbisik.

"Mau makan apa dulu?"

"Aku belum mau makan makanan berat," aku mengedarkan pandangan, menatap jajaran stand makanan berbagai macam.

"Ada lasagna, kamu mau?" Sakha mengangguk, kami pun berjalan menuju ke area stand makanan manca negara.

Karena malas bulak balik antara meja kami dan stand area, kami memilih makan sambil berdiri di meja bundar yang di atasnya terdapat hiasan lampu dan bunga yang besar.

"Lebih enak buatan kamu," ucapan tiba-tiba Sakha membuatku refleks menoleh menatapnya yang tampak kesulitan menelan habis lasagna, sudah aku bilang kan lidah Sakha itu gak murahan seperti lidahku yang tetap menghabiskan makanan yang hanya kurang garam ataupun gula.

"Sini, biar aku yang abisin punya kamu."

Aku mengambil piring lasagna Sakha, lalu menghabiskan sisanya. Memang tidak seenak versi negaranya, tapi aku masih sanggup menghabiskannya.

Flawless WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang