Pagi yang indah, mentari dari ufuk timur juga mulai menampakkan dirinya. Burung-burung berterbangan menemani indahnya suasana pagi ini. Hangat, sejuk dan nyaman menjadi satu perpaduan yang sempurna.
Disamping itu, seorang gadis tengah kalang kabut akibat terlambat bangun. Dirinya lupa jika hari ini bukanlah hari libur. Ingin rasanya ia marah, tapi ini adalah kesalahannya sendiri. Akibat keteledorannya.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamarnya, dirinya menoleh sebentar, kemudian mengambil tas yang terletak di atas kasurnya. Dirinya berlari membuka pintu itu, dan terlihatlah Shanika yang tersenyum hangat padanya.
"Selamat pagi, bunda Zeeya yang paling sempurna di dunia." Zeeya menyambut Shanika dengan pelukan hangat antara ibu dan anak.
"Selamat pagi juga anak bunda. Ayo turun, ayah udah nungguin kamu di bawah," ajak Shanika pada putri semata wayangnya.
Kedua wanita berbeda umur itu berjalan beriringan menuruni anak tangga satu-persatu. Saat kakinya menapak di anak tangga terakhir, Zeeya langsung berlari memeluk sang ayah yang menyambutnya dari ruang keluarga.
Shanika tersenyum sebentar menatap pemandangan di depannya. Ia melihat anak dan suaminya tersenyum membuat ia bisa merasakan hangat yang mereka ciptakan.
"Pagi anak ayah, udah siap sekolahnya hari ini?" tanya Gracio dengan antusias.
Zeeya mengangguk semangat, tak lupa menampilkan senyum terbaiknya. "Selalu siap untuk menambah ilmu," ucapnya.
"Bagus. Ini baru anak ayah yang pintar." Pujian itu berhasil membuat Zeeya kembali tersenyum.
"Zee, hari ini bawa bekal aja, ya. Kamu tadi ngga sempat sarapan 'kan?" Zeeya mengangguk mendengar pertanyaan bundanya.
Tangannya terulur mengambil kotak bekal itu, lalu beralih mencium telapak tangan Shanika. Shanika mengusap pucuk kepalanya sebentar, lalu beralih mencium keningnya.
"Zeeya pergi dulu, ya, bunda. Dadah bunda," lambaian tangan menjadi perpisahan antara ibu dan anak itu. Shanika melambaikan tangannya, hingga punggung itu mulai memudar dari balik pintu yang tertutup.
•
•
Suara menggema tercipta dari sepatu seorang gadis cantik. Ia baru saja turun dari kamarnya. Pandangannya terkunci pada seorang pria paruh baya dan seorang gadis cantik yang duduk membelakanginya. Terdengar gema tawa yang hadir dari keduanya, rasa hangat yang mereka tunjukkan dapat ia rasakan.
Dari lubuk hatinya, selalu terbesit rasa iri ketika melihat kembarannya bisa dekat dengan ayahnya. Ia ingin merasakan itu, bercengkrama dan tertawa lepas bersama. Namun, rasanya itu bagaikan angan yang tidak akan pernah terwujud.
"Meira, sini, kita sarapan bareng." ajak Ilona saat melihat salah satu putrinya hanya melamun di bawah tangga.
Meira sadar, ia tersenyum lalu menghampiri sang mama. Bukan untuk sarapan bersama, dirinya hanya ingin pamit untuk pergi duluan.
"Meira sarapan di sekolah aja, mah." tolaknya pada Ilona. Ilona mengerutkan keningnya menatap anaknya, "kenapa ngga sarapan disini aja, kak? Mama udah siapin makanan kesukaan kamu." ucapan dari mamanya membuat ia sedikit tak enak hati.
"Meira bawa bekal aja, ya, mah? Engga apa-apa 'kan?" Ilona akhirnya mengangguk, menyiapkan bekal untuk dirinya.
Sembari menunggu bekalnya, Meira mendudukkan dirinya pada salah satu kursi disitu. Tatapannya beralih pada Maira yang tengah fokus pada makanannya, lalu pandangan itu jatuh pada papanya. Netranya terus menatap wajah tegas nan dingin itu, tidak seperti ketika ia turun dari tangga tadi.
