Satu

387 33 12
                                    

kalo aku publish cerita lamaku ada yang mau baca nggak kira-kira? ╥﹏╥

⋇⋆✦⋆⋇ 

Chenle membanting pintu kamarnya. Ia muak. Perlu digaris bawahi ia teramat muak dengan segala isi rumah yang ia huni. Sudah cukup karena titik kesabarannya selalu diuji, tanpa berpikir panjang dengan kasar ia memasukkan baju baju miliknya ke koper dengan amarah yang menggebu.

"Anjing, sakit banget sialan." Ia bergumam dengan air mata yang sudah berada diujung.

Hampir seluruh pakaiannya ia taruh di dalam koper, lalu diteruskan dengan sepatu dan antek antek barang berharga miliknya. Ia tidak menghiraukan suara pecahan kaca diluar sana.

"Ya Tuhan, gue kuat kan kalo hidup sendiri?"

Ia mendongakkan kepalanya ke atas kemudian mengingat ngingat berapa tabungan miliknya yang tersisa di ATM. Walaupun ia anak orang kaya ia rajin menabung kok.

Tidak terlalu boros juga. 

Ia mendorong koper miliknya dengan tergopoh. Sejenak memandangi kamar bernuansa biru sebelum membuka jendela kamar dan mengangkat koper itu dengan tertatih. Sebelum itu ia sudah meletakkan surat di atas meja belajar miliknya.

Demi Tuhan ia beruntung karena kamar miliknya berada pada lantai paling bawah sehingga mudah baginya untuk melarikan diri.
Dengan seluruh tenaga yang Chenle punya, ia menggeret koper miliknya dan keluar melalui gerbang belakang yang memang tidak di tutup. Ia melirik kesana kemari memastikan tidak ada yang melihat dirinya dan kemudian berlari sembari menggeret koper.

Sumpah ini pukul 1 malam.

Orang gila mana yang berlari membawa koper dengan berjalan kaki melewati rumah rumah megah dan apartemen? Mau pesan taksi online juga takut di-cancel.

Lebih memilih abai dengan pikirannya. Chenle, pemuda itu pun menelepon temannya. Entah diangkat atau tidak ia berharap orang yang menjadi harapan satu satunya ini mau mengangkat telepon darinya.

"Halo?"

"Chenle bangsat. Gue udah mimpiin cewe seksi aja lo bangunin!"

Chenle tertawa kecil. Sebelum berkata, "bisa tolong jemput gue nggak?"

Karena suara Chenle yang terdengar sumbang. Lelaki di sana memilih terdiam sesaat kemudian terbangun dari tidurnya. Ia tahu sahabatnya ini pasti sedang tidak baik baik saja.

"Di mana? Biar gue otw."

Suara di seberang sana mengecil lalu terdengar suara pintu yang dibuka dan disusul suara kaki melangkah.

"Jeno .... "

Setelah mengatakan hal itu Chenle menangis. Katakanlah ia kalah, ia sudah lelah dengan segala keributan di rumahnya. Memilih abai dengan tangisan Chenle lelaki di seberang sana mulai menyalakan motor miliknya.

"Tungguin gue. Jangan lakuin hal aneh aneh. Sharelock cepetan."

Setelah itu ponsel diputuskan oleh Chenle secara sepihak. Ia mengirimkan alamat di mana ia berada dan kemudian berjalan mendekat ke arah warung yang telah tutup. Ia berjongkok lalu menutup telinga miliknya. Keringatnya mengucur deras. Sungguh kepalanya benar benar berisik. Ia menelisik memandangi jalanan yang sepi, ia sudah cukup jauh berjalan dari rumah.

Yang ia rasakan sekarang adalah,

pusing, panas, dan gemetar.

"Gila gue, " lirihnya.

Tak berselang lama suara debuman motor terdengar. Ia yang tertunduk kemudian mendongakkan kepalanya.

Jalanan yang sepi, lampu yang cukup temaram. Bulan purnama yang sudah pada notasi satu menghiasi penglihatannya saat ini. Ia menyipitkan pandangannya karena lampu motor itu menyorot langsung kearah matanya.

Sin Cos Tan [JiChen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang