Suara sirene ambulance menjadi pengiring malam yang begitu menyiksa. Deru tangis menggelegar disepanjang bulan menerang.
"Ay-yahh...hiks..."
Genggaman tangan mengerat pada sosok yang terbujur kaku didepannya— memejam dengan beberapa gurat kening nampak kesakitan.
"Ay-yahhh, j-jangan tinggalin G-gama hiks...Ay-yahh harus tahan. G-Gama...hiks...Gama disini temani Ayah. Ayah harus kuat. G-gama tau Ayah kuat."
Isak demi isak terdengar menusuk rangu siapa saja. Air mata bercucuran jatuh tak bisa ditahan. Rapalan harap serta ujaran penuh doa terus tergumam pada bibir anak laki-laki disana.
Markus dengar.
Markus dengan jelas mendengarnya.
Tapi Markus tak bisa merespon bahkan hanya untuk berucap. Seluruh tubuhnya seakan remuk dan sakit luar biasa. Ia bahkan tak tau dimana rasa sakit ini berasal.
"Ay-yahhh, hiks..."
Malam yang begitu mencekam kini Gama rasakan dengan begitu hebat. Sepanjanh perjalanan hanya bisa menangis dan memohon pada sang pencipta.
Saat ini Ayahnya sudah dalam penanganan dokter pada ruangan didepan. Gamavin berdiru kaku pada pintu dimana sang Ayah didalamnya.
"Ssttt...Gamavin duduk dulu yuk? kita bersihin dulu tangannya." Orion yang seakan paham dengan apa yang dirasakan sang keponakan turut tak tega.
Telapak tangan yang biasa menggenggam banyak cinta itu kini berlumuran darah. Bahkan beberapa bagian pakaiannya turut terkena.
"Ay-yahh..." rengeknya dengan air mata tak berhenti turun.
"Iya, Ayahnya sedang ditangani ya? Om Ryan pasti bisa bantu Ayah. Gamavin ikut Abanh sebentar Ok?" setelah bujuk rayu Orion, Gamavin memilih mengangguk.
Bahkan saat akan melangkah saja anak itu hampir limbung jika Orion tak segera menangkap. "Pelan-pelan, Gama kuat ya."
Detik demi detik, hingga dua jam Gamavin senantiasa berdiri pada pintu ruang UGD. Anak itu tak berhenti merapal doa dengan hebatnya.
Ia memang bukan umat Tuhan yang taat, tapi saat ini Gama akan berdoa dan memohon pada sang pencipta.
Haruskah semua Tuhan dan Dewa ia rapalkan permohonan? Haruskan pada Sang Bapa? atau pada Allah Yang Maha Esa? atau jika memang harus pada sang Budha Gamavin bertekuk lutut. Maka akan Gama lakukan.
Tapi tolong. Tolong untuk Ayahnya diselamatkan.
"Ay-yahh..." gumaman menyakitkan itu terus saja terucap bergetar.
Herlambang, Orion, Eric, Nico, Bi Lastri, bahkan begiti banyak orang disana menamani Gamavin menunggu sang Ayah.
Ceklek
Pintu ruangan itu terbuka. Menampilkan Ryan dengan raut tak bisa terbaca. Gamavin dengan bergegas mendekat pada sang sahabat Ayah.
"O-om Ayah g-gimana?" tanya Gamavin bergetar.
Ryan menoleh pada seluruh orang yang berada disana. Ia menghembuskan nafas kasar, hingga—
Menggeleng dengan pandangan menunduk lemah.
Deg
Gamavin bergetar. Menggeleng beberapa kali menolak pernyataan tanpa kata yang baru saja Ia dapat.
Tidak mungkin kan?
Tolong beritahu Gama bahwa pemikirannya salah!
"Benturan punggungnya cukup keras. Membuat beberapa tulang hingga organnya terluka. M-Markus saya nyatakan berpulang." Ryan berujar final dengan berusaha mendekati Gama.
Namun naas, sebelum rengkuhan itu mendarat Gamavin sudah berlari kedalam. Kakinya membeku tak bergerak.
Ia melihat sang Ayah yang mulai dilepas dari berbagai alat. Tubuhnya pucat tak ada pernapasan. Bahkan saat Gama menyentuh kulitnya, hanya rasa dingin yang tercipta.
"A-yahhh....Ayahhhh....bangun!!! Ayah...Gama..hiks...G-gama disini. Ayah ayo bangun. Ayah jangan tinggalin Gama.
Gama sudah sayang sekali dengan Ayah, jangan buat Gama nyesel sayang Ayah. Hiks....Ayah ayo bangun! Ayah jangan ikut Ibun, Ayah jangan ikut Ayah Gama, Ayah jangan ikut Mama.
Ayah disini saja dengan Gama. Kalo Ayah pergi Gama sama siapa? Gama cuman punya Ayah. Jangan tinggalin Gama sendirian..." deru tangis itu menggelegar seisi ruangan.
Anak itu terus meronta pada tubuh lemah sang Ayah. Menggoyangkan keras berharap sang Ayah bangun dan memeluknya.
"Gamavin sudah nak, ikhlasin Ayah ya? Gama disini dengan Grandpa. Ada Abang, ada Om Ryan, ada Bunda. Gama gak sendirian nak." Herlambang mencoba menarik tubuh sang cucu menjauh dari mayat Putranya.
"G-gama mau sama Ayah aja. Gama gak mau kalo gak ada Ayah, Grandpa hiks.."
"Ada Abang, Gama gak akan sendirian. Biarin Ayahnya pergi ya hm?" Orion ingin memeluk tubuh ringkih keponakannya.
Bahkan kaki itu tak mampu berdiri tegak, Gamavin berpasrah pada ranjang dan dekapan sang Kakek.
"Hiks.....Gama salah apa? kenapa semua ninggalin Gama. Kenapa semua jahat tinggalin Gama sendirian...hiks—
Kenapa Ayah yang pergi?!! Kenapa Tuhan bawa Ayah!! Kenapa g-gak Gama aja ya-yang mati hiks..."
"Gama, jangan seperti itu nak." Herlambang mendekap tubuh cucunya dari belakang. Tak kuat mendengar rintihan menyakitkan yang terakhir cucunya ucapkan. Itu sungguh menyakitkan.
Markus tolong lihat. Lihatlah putramu yang begitu menginginkanmu kembali pada pelukannya.
Ia meraung. Memohon pada Tuhan untuk dirimu tak pergi. Menyalahkan dirinya, dan bahkan menyalahkan nasibnya yang begitu menyakitkan.
Hidupnya yang penuh akan ditinggalkan membuatnya rapuh tanpa harus diutarakan. Daniel pergi meninggalkannya sejak kecil. Gracia meninggalkannya saat beranjak remaja. Dan haruskah dirimu meninggalkannya sekarang?
Saat dirinya baru saja merasakan rasa bahagia. Baru saja merasakan indahnya keluarga. Bahkan baru saja merasakan pelukan hangat sosok yang sejak awal tak Ia dapatkan. Haruskan Gama kembali kehilangan semuanya?
"Ay-yah ja-jangan pergi hiks...Gama aja yang diambil Tuhan...."
"Markus cukup! ini diluar brieffing ya?" Ryan yang sejak tadi menyaksikan merasa tak tega. Apalagi mendengar Gamavin sampai memohon untuk mati.
"Kak??!!"
"MARKUS?!!"
"Ay-.."
Markus membuka mata, tersenyum dengan kikuk menghadap seluruhnya. Terlebih pada sang Putra didekatnya.
Benar, ini semua permintaannya dan dengan bantuan Ryan. Hehehehe:)
"Ay-ayahhh...."
Bruggghh
"GAMAVIN!!"
"Hei Gamavin sadar!"
■■■■■■■
Maap kalo kurang sedih dan ngefeel wkwkw, abis breakup WKWKWKKW. Yaaa...namanya sesuai mood penulis, xixixi.
See you
KAMU SEDANG MEMBACA
Gamavin and The Martin [END]
Teen FictionKeseharian yang mengalir bagaikan arus sungai, tiba-tiba saja terusik dengan kabar bahwa dirinya akan diadopsi oleh seorang DUDA KAYA RAYA. Keseharian yang seharusnya berjalan tanpa arah harus berubah dalam arahan seseorang, bahkan aturan sebuah kel...