Kehidupan Setelah Wisuda

5 1 0
                                    

Satu kalimat menyakitkan bisa memberi bekas selama 1000 tahun bagi pendengarnya.

.Reya Prianca Mehra.
.
.
.
Happy Reading...
.
.
.


4 tahun 5 bulan kemudian...

Angin malam menusuk kulit leherku yang terbuka tidak lebar. Jam menunjukan pukul delapan malam, sedangkan aku baru saja keluar dari sebuah perusahaan kecil tempatku bekerja. Setengah tahun mengabdi di sini, aku mampu menciptakan hal baru dalam hidupku. Kini, dengan rasa dingin yang menjalar aku menyusuri kota yang ramai kendaraan itu untuk pulang.

Setengah tahun bekerja di sini, aku belum bisa membeli kendaraan untuk pulang. Aku masih saja mengandalkan ojek untuk pergi dan pulang. Juga Bian, dia juga berperan dalam hal ini, sesibuk apapun dia. Hari ini bukan dia tidak bisa menjemputku, melainkan aku yang menolak lantaran akan pulang malam karena lembur.

Langlah kakiku terus beradu dengan batu-batu tepian jalan raya yang tengah ramai dengan kendaraan beroda. Banyak juga yang berjalan kaki di sini. Seperti beberapa penghuni rumah sekitar sini dan orang satu kantor denganku yang kebetulan hanya ngekos di dekat perusahaan.

Langit tampak indah malam ini, dengan bintang yang bersinar di atas sana membuat segala penat di badanku hilang. Jarak rumah dari perusahaan lumayan jauh, tapi aku nekat untuk berjalan kaki kali ini. Ini perdana, sebelumnya tidak pernah kulakukan karena malas saja. Sekarang, baru saja lembur tapi kakiku meronta ingin mencoba berjalan kaki untuk pulang. Biasanya aku akan memesan ojek online saja, kalau tidak menunggu Bian di lobi sampai dia datang.

Ngomong-ngomong, Bian udah sukses sekarang. Dia telah lulus dengan fakultas akutansi di universitas yang berbeda denganku. Kenapa? Karena aku tidak lolos di sana. Nilaiku tidak merestui untuk satu kampus dengan Bian, jadi aku satu kampus dengan Septiya. Lagi kami berdua berkumpul. Tapi kabar buruknya Septiya masih belum wisuda, padahal sudah empat tahun lebih. Berbeda dengan Nea, gadis itu satu kampus dengan Bian dan juga Gery. Jejen dan Juanda memilih tidak kuliah. Sayang sekali, di waktu yang sudah mepet, Jejen malah putus asa karena ia tidak lolos di universitas yang ia inginkan. Juanda juga, tapi dia memang tidak memiliki niat.

Sekarang Jejen menjadi vokalis di salah satu kafe di Jakarta. Sedangkan Juanda, seperti niatnya dari awal, dia ingin menjadi tukang bengkel.

Empat puluh menit berjalan cepat, aku akhirnya sampai di rumah yang kini sudah ditutup. Sepertinya nenek sudah tidur, tapi aku sengaja mengatakan jangan mengunci pintu karena aku akan pulang malam.

Malam ini menjadi malam melelahkan sekaligus menyenangkan. Akhirnya dengan kesadaran penuh aku bisa pulang dengan berjalan kaki dari perusahaan yang jauhnya minta ampun.

000

Api berkobar pagi itu di belakang rumah. Bukan kebakaran, bukan juga acara masak menggunakan tungku api. Melaikan membakar sebuah kenangan menyakitkan untuk dilihat.

Kemarin—subuh itu—dengan mukena yang masih melekat aku menatap sebuah foto yang kuingat sudah lima tahun lebih di laci tawaletku. Hanya foto biasa dengan bingaki lama, tapi terdapat kenangan tak terhingga di sana. Kenangan yang bisa membawa aku ke dalam lautan kesakitan akibat sepatah kalimat seseorang yang sampai sekarang masih sering terngiang.

'Untuk apa berpacaran dengan gadis miskin seperti dia? Orang tuanya saja tidak ada, dan kamu ingin menjalin hubungan dengannya'

Benar kata orang. Satu kalimat menyakitkan bisa memberi bekas selama 1000 tahun bagi pendengarnya. Itu adalah aku. Dengan melihat kembali foto ini, aku merasa ditarik kembali pada dimensi masa lalu yang terlihat abu-abu.

Oktober ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang