Prolog

925 88 18
                                    

Problematika hidup yang dihadapi setiap manusia jelas berbeda. Jikalau ada yang sama, itu jarang terjadi. Berbeda masalah, berbeda pula solusi. Termasuk gadis cantik yang selalu menyendiri ini. Masalah yang ia hadapi, mungkin tak sama dengan rekannya yang lain. Tumbuh dari keluarga yang bisa dikatakan lebih dari cukup, tak membuat ia merasa puas. Memiliki harta melimpah, tak menjamin pula ia hidup bahagia, lahir dan batin. Melarikan diri sementara dari masalah hidup yang menghimpit dengan datang ke tempat seperti ini, mungkin adalah solusi terbaik, menurutnya.

Kulit tubuhnya putih dan mulus tanpa noda. Helaian navy sepunggung, ia ikat ponytail. Poni rata menutupi sebagian dahi disertai beberapa anakan rambut yang menjuntai di sisi kanan dan kiri, membingkai wajah jelita bak boneka. Hidung mungil namun mancung tanpa shading. Garis hitam disekitar kelopak mata membentuk cat eye, memberi kesan tajam nan memikat pada netra seindah rembulannya. Lipstik matte di bibirnya yang ranum di kedua sisi berwarna hot chilli, betul-betul menggoda iman. Dress ketat tanpa lengan hanya sebatas setengah paha berwarna merah menyala. Belum lagi, belahan di bagian atas yang jauh lebih menantang, karena hampir menampilkan dua bukit kembarnya yang kencang. Dipadu dengan heels hitam setinggi 12 senti di sepasang tapak kaki, membuat penampilan seksinya semakin sempurna. Luar biasa pemandangan yang indah nan mengguncang hawa nafsu. Sangat sayang jika dilewatkan begitu saja, bagi siapapun yang terpesona oleh tampilannya malam ini.

Entah sudah berapa kali ia mematahkan abu di ujung lintingan yang ia hisap. Asap yang ia terbangkan melalui celah bibirnya bertaburan ke udara, bercampur baur dengan pekatnya aroma alkohol dan aneka parfum yang tersebar pada masing-masing tubuh manusia di malam buta. Lampu ambience ditembakkan ke setiap penjuru ruang remang ini. Kerlap kerlip lampu di lantai turut tumpang tindih menguasai pandangan. Musik berdentum-dentum mengusik pendengaran, membuat tubuh bagian atasnya tipis-tipis ikut bergoyang walau posisinya sedang duduk di kursi bar. Apa yang ia lakukan sangat jelas, mengundang kumbang-kumbang jantan untuk mendekat. Beberapa pasang mata liar milik pria di klab malam ini tertuju padanya.

"Hai, cantik," Sapa seorang pria yang diperkirakan seumuran sang Daddy, dengan mata yang sengaja ia kedipkan sebelah. Berkepala plontos dan bertubuh tambun.

Gadis cantik yang merasa disapa pun memberi atensi berupa lirikan memikat namun terselip sesuatu yang mungkin tak akan terduga setelahnya,"Hai juga,"sapanya balik, si gadis cantik mengulas senyum semanis gula-gula, namun cukup berbahaya bagi yang mengenalnya. Asap yang ia hisap dari lintingan yang terselip antara jari tengah dan jari manis, dengan kurang ajarnya ia hempaskan tepat di depan wajah si pria hidung belang. Hingga si pria terbatuk-batuk dibuatnya. Gadis menawan itu melebarkan sudut sebelah kanan bibirnya dan sorot matanya berubah sedikit menajam.

Ia meredakan batuk hanya dengan menarik napas singkat. Ia tampak berminat dengan si gadis cantik. Bahkan ia sampai mengambil posisi duduk bersebelahan dengannya. Ia berdeham agar tak canggung lalu bertanya,"Siapa namamu, manis?"

Hinata menghisap lagi lintingan rokok kemudian mengeluarkan kepulan asapnya ke arah berlawanan dengan si pria botak."Kenapa Anda ... ingin tahu?" Ia bertanya acuh, dagunya terangkat anggun. Pandangannya tertuju pada lantai dansa. Yang mana lantainya akan berubah-ubah warna, seiring dengan bunyi dentuman musik yang bertalu di sepasang rungu.

"Mmm, tidak boleh ya? Kalau nomor ponsel?" Si pria botak ini tak menyerah, ia terus menebar jala pesona. Dari segi fisik, pria ini cukup tampan, tapi bukan selera si gadis. Jika perawakannya mirip-mirip Vin Diesel, mungkin ia akan berpikir ulang.

Si gadis seksi tak menggubris pertanyaan kedua dari si botak. Pandangannya lurus menghadap ke depan, menatap kerumunan manusia yang mulai semakin gila menggerakkan tubuh, berjingkrak-jingkrak penuh energi. Ia menghisap lagi lintingan yang masih setengah, kemudian mengembuskan asapnya ke atas. Membiarkannya terbang menghilang, bersama pikirannya yang kusut.

"Boleh tidak, Nona?" Si pria ini kembali bertanya. Menegaskan bahwa presensi dia ada, bukan kasat mata. Ia mengedipkan sebelah matanya lagi sekaligus mengurai senyum genit. Ponsel ia keluarkan dari saku jas, kemudian apa yang dilakukan pria tua ini benar-benar tak diduga oleh Hinata.

Tubuh cantiknya menegang tatkala ujung ponsel mulai diarahkan ke bagian bawah tubuhnya. Ponsel itu diarahkan perlahan-lahan dari permukaan betis, lambat laun menuju ke tumit dan selanjutnya ke paha kanannya. Pria ini menyeringai kesenangan, karena sepertinya mendapat respon.

Kelakuan pria ini benar-benar membuat kesabaran Hinata terkuras. Dengan wajah mengetat menahan emosi, ia menyambar cepat ponsel canggih si tua bangka dan melemparnya asal hingga melambung ke atas. Lalu ... secara tak sengaja, menimpa ke kepala seseorang yang sedang bersemangat berjingkrak nun jauh lima meter jaraknya di hadapan Hinata.

Seorang pria muda berambut coklat ini mengaduh karena kepalanya dihantam sesuatu dan itu adalah sebuah ... ponsel mahal. Ia sontak berhenti menggoyangkan tubuhnya, mengambil benda yang menghantam kepalanya tadi dan keluar dari kerumunan. Langkah kakinya lebar juga cepat.

Dari kejauhan, Hinata bisa merasakan sorot penuh amarah meluap tertuju kepadanya. Hinata yang masih duduk dengan paha saling menumpu, tampak santai tanpa beban. Lintingan yang ia hisap, akhirnya ia tekan di atas asbak hingga padam. Ia bisa menduga, apa yang akan terjadi setelah ini. Namun, tak ada rasa gentar sedikitpun. Bahkan dengan sengaja ia memain-mainkan rambutnya yang terikat.

"Ponsel siapa ini?!" Desis si pria berambut coklat bermata jelaga dengan raut mengetat, giginya saling bergesek geram. Tangan kanannya juga menenteng ponsel, memampangnya ke wajah Hinata.

Hinata menjawab seraya memasang wajah tanpa rasa bersalah sedramatis mungkin,"Jangan tanya saya, ponsel itu punya dia,"balas Hinata lugu. Telunjuknya mengarah ke pria botak yang langsung memasang wajah antara bingung, gelisah dan juga takut.

"Oh, jadi ini punya kamu!" Raung si pria asing. Pandangan marah si pria berambut coklat beralih ke pria botak, yang ada di sebelah kanan si gadis seksi.

Untuk selanjutnya, gadis itu segera turun dari bangku bar dan membiarkan keributan terjadi. Ia berjalan anggun, meninggalkan tempat yang sebentar lagi akan menjadi lebih ramai. Ia mengusap rambut ponytile-nya yang halus bagai sutra itu, kemudian mengibaskannya. Bibir merahnya mengembangkan seringai licik sekaligus terpuaskan.

Semua kegiatan di lantai dasar ini tak luput dari sorotan sepasang mata biru berbingkai lensa petak. Tubuh menjulangnya berdiri tegap, berada di lantai 2 ruang VVIP berdinding kaca. Wajah tampan bak pangeran dari negeri dongeng namun memiliki tatapan sedingin Mounth Everest itu menjadi saksi, atas apa yang terjadi sebenarnya. Ia kembali menyesap cairan berwarna merah yang tertuang di gelas kristal, yang dipegangnya sedari tadi.

"Ada apa, bos?" Tanya pria berambut nanas, melihat si bos yang berdiri tanpa beranjak kemanapun, membuat ia curiga sekaligus penasaran. Si pria yang berstatus asisten pribadi ini berdiri di samping si bos dan ikut menatap kegaduhan yang terjadi di bawah sana.

"Tidak ada apa-apa,"jawabnya datar, namun sarat akan tanda tanya di dalam benak dan pikirannya.

Siapa gadis itu sebenarnya?

.
.
.

TBC

Hai kembali lagi, hehehe..

Ini kolaborasi diriku dan Saliyyu

Selamat menikmati ceritanya ya..

Fake Chilli (End)✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang