Part : Thirteen

468 57 23
                                    

Jeonghan melangkahkan kedua kakinya untuk masuk ke dalam rumahnya yang kini tak lagi senyaman sebelumnya. Dia merasakan kesunyian tanpa rasa hangat sekarang. Ketika dia menginjakan tapak kaki gontainya pada lantai rumah pagi hari itu, rupanya kedua orang tuanya tengah duduk bersantai mengitari meja makan yang sebelumnya selalu terisi empat orang di hari sebelum mereka semua melakukan aktifitasnya. Sedangkan Jaehyuk, adiknya itu terlihat sedang melahap setangkup roti isi daging di dalam genggamannya dan sang ayah sedang mengangkat cangkir kopi yang baru saja di letakkan oleh ibunya di samping roti berisi selai kacang kesukaan tuan Yoon.

Dengan terpaksa, sosok manis itu menghentikan Langkah. Meskipun rasa canggung menyelimuti mereka di pagi hari itu, Jeonghan memutuskan untuk berhenti sejenak. Membungkuk tanpa salam sebelum akhirnya kembali menjauh.

"Hyung...". Panggilan Jaehyuk terdengar pelan meskipun nyatanya tetap berhasil menghentikan langkah sang kakak yang terus menjauh dari ketika orang yang tengah berkumpul untuk menghabiskan sarapannya. "Apa kau tidak lapar? Duduklah disini, aku akan membuatkan roti pang...". Kalimat Jaehyuk seketika berhenti. Seiring dengan deheman pelan sang ayah yang tak juga mengalihkan tatapannya dari selembar koran yang sedang dia baca.

Meskipun Tuan Yoon tak menyambung dehemannya dengan kalimat penjelas lainnya, namun hal itu cukup menjadi sebuah isyarat bagi anak bungsunya itu untuk tak lagi melanjutkan interupsinya kepada sang kakak.

Jeonghan masih berdiri di tempatnya, tiba-tiba saja mengangkat tangannya tanpa dia sadari, mengusap perutnya yang mulai menggembung itu dengan pelan. Dia sebenarnya merasa sedikit lapar mengingat dia belum memakan apapun kecuali air lemon yang dia minta kepada Seongcheol semalam. Namun, dia sangat memahami situasi dimana dia tak dapat duduk berhadapan dengan keluarganya saat ini, perasaannya masih belum cukup mampu untuk saling berhadapan dengan mereka, terlebih sang ayah, yang hingga kini terus saja menatapnya dengan keras seolah menghakimi atas kesalahan yang Jeonghan tolak untuk dia akui.

Benar, segala kekacauan ini bukanlah kesalahan dia. Lantas mengapa dia harus memberikan penjelasakan kepada sang ayah yang bahkan tak sedetikpun mau mendengarkan alasannya. Toh, dia bukan menyengaja untuk melakukan perbuatan menjijikan seperti yang mereka tuduhkan.

Sang ibu sepertinya mengerti bahwa anak pertamanya itu merasa kurang nyaman untuk terus berada di ruangan yang sama dengan ayahnya, sehingga ibunya tiba-tiba mengulas senyum tipis penuh kasih kepada sang anak.

"Jeonghan, kau pasti lelah bukan? Naiklah ke kamarmu, mandi dan beristirahat. Eomma akan mengantarkan sarapan untukmu setelah ini". Titahnya dengan lembut.

"Kenapa harus mengantarkan makanan untuknya? Apakah dia adalah tamu di rumah ini? Dia tidak cacat dan dia tidak mati". Sahut sang ayah dengan nada suara yang sedikit tinggi. "Dia hanya sedang mengandung anak dari laki-laki yang bukan suaminya"

"Yeobo!". Ibunya menggertak ayahnya dengan cepat, mengiringi ucapannya dengan tepukan sedikit keras di pundaknya.

Jeonghan yang belum sempat untuk mengistirahatkan kakinya lebih memilih untuk menghembuskan nafas beratnya dan berbalik. Dia memutar tubuh dan mengayunkan kakinya dengan langkah yang lebih lebar. Dia mual jika harus bertengkar di pagi hari, bahkan di saat perutnya masih kosong.

"Teruslah menghinaku sepuasmu appa, mungkin kau hanya akan berhenti jika aku mati". Ucapnya dengan lantang.

.

.

.

.

.

.

.

Jaehyuk masih sibuk menghabiskan sarapannya dengan santai. Menggigit sesuap demi sesuap potongan rotinya sambil memainkan ponsel di genggaman tangannya yang lain. Sang kakak sudah naik ke atas menuju kamarnya yang berada di lantai dua setelah kalimat singkat dari ayahnya yang sedikit merusak suasana pagi hari mereka.

Steganografi [JeongCheol Ver.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang