Prolog

113 15 2
                                    

Aroma petrikor menguar menusuk indra penciuman, bersamaan alunan melodi indah ayar langit yang turun, saling bersautan turut menyapa indra pendengaran.

Kelima anak itu duduk termenung di sebuah saung yang berada tepat ditengah hamparan kebun teh luas, menatap miris setiap tetesan ayar yang turun semakin derasnya.

Salah satu anak berbaring disaung beralaskan papan kayu itu, netranya kini menatap langit-langit saung yang terbuat dari ijuk dengan bambu sebagai usuk dan juga rengnya.

"Mas Yafi lagi liatin apa?" tanya anak itu penasaran, kemudian ikut berbaring tepat disebelah Yafi.

"Enggak mas cuma bosen aja, kita nggak jadi main karena hujan" Jawabnya tanpa menoleh.

"Ish... kenapa juga hujan turun sih? nyebelin banget" geramnya, sembari mengerucutkan bibir lucu.

"Nggak boleh ngomong gitu Harsa, kata ustadz hujan itu kan rahmat Allah" Tutur yang lainnya sembari menjulurkan kedua telapak tangannya, menadahi air hujan disana.

"Kalau banjir? Rahmat juga kah mas?" Tanya Harsa mendekatkan diri pada Sandy yang kini masih sibuk menampung air hujan ditangannya.

"Bisa jadi iya, eh tapi nggak tau juga sih, pak ustadz belum jelasin soal itu" Jawabnya cengengesan, membuat Harsa mendengus sebal.

"Tapi kan mas kalau disini banjir, berarti dataran di bawah kita jadi danau dong, itu juga rahmat kah?" Kini Tara ikut bertanya pada Sandy, membuat anak berlesung pipi itu tergelak.

Sandy bahkan tidak pernah berpikiran soal itu, namun Tara yang usianya satu tahun lebih muda darinya itu malah berpikiran terlalu jauh.

"Mas nggak tau Tara, kita tanya ustadz aja nanti pas ngaji" Jawabnya final, tapi tentu saja hal itu tak memuaskan rasa ingin tahu Tara.

"Mas Yafi" Bisiknya pelan

"Apa sih? kenapa bisik-bisik?" Jawabnya sembari menoleh pada Bhumi yang masih setia berbaring di sebelahnya, meninggalkan ketiga anak lainnya yang tengah membahas soal rahmat Allah.

"Rahmat itu siapa? kok hujan itu rahmat? banjir juga rahmat? sebenarnya rahmat itu siapa? orang mana dia mas?" Tanyanya polos.

Yafi cukup terkejut mendengar perkataan adiknya itu, ia bahkan menepuk pelan jidatnya sendiri, tak habis pikir.

"Ya begini ni, kalau ustadz jelasin bukannya dengerin malah ngegambar di karpet masjid"

"Ah elah mas jawab aja sih, nanti aja kalau mau ceramah, Bhumi bene-"

"Mas Sandy! bajuku basah ni" Ucap Harsa tak terima kala Sandy menumpahkan air di tangannya ke bajunya.

Teriakan Harsa tentu saja membuat Bhumi dan Yafi segera menoleh, menatap ketiga anak yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Ya maaf, tadinya itu buat mas Yafi sih, eh malah tumpah ke baju kamu" Jawabnya tanpa rasa bersalah.

Yafi yang mendengar namanya disebut, hanya memutar bola matanya malas, ia sudah biasa dengan tingkah sahabatnya.

Sandy yang satu tahun lebih muda darinya, sama seperti Bhumi —adiknya—, serta Harsa dan Tara yang dua tahun lebih muda darinya.

Tak berselang lama, alas saung yang mereka tempati mulai bergetar, Yafi bisa melihat Tara dan Sandy sedang mencoba menjauh dari Harsa, yang sepertinya akan mengamuk sebentar lagi.

Tentu saja ia segera berdiri, tak lupa mengajak Bhumi untuk berdiri juga, bisa-bisa mereka akan tertimpa tubuh Sandy ataupun Tara jika tak segera berdiri, tidak lucu jika hal itu terjadi.

Dan benar saja, saat ini Harsa sedang mengisi amunisi di tangannya, bersiap untuk menyiram siapa saja yang ada didekatnya.

Tak ingin bajunya menjadi basah, keempat anak itu segera berlarian dalam saung menghindari Harsa, meskipun cukup sulit karena ukuran saung yang tidak terlalu besar.

Tawa mereka bersautan dengan suara ayar yang semakin lama semakin deras itu, melupakan setiap luka dan dukanya masing-masing.

🎶

MAIN CAST

"Kebersamaan kami adalah obat bagi setiap luka yang tak dapat disembuhkan"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kebersamaan kami adalah obat bagi setiap luka yang tak dapat disembuhkan"

To Be Continued

- --- -- --- .-. .-. --- .-- (Tomorrow) || TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang