Wajahnya terlihat cerah dengan bibir melengkung sempurna. Gadis itu berjalan sambil membawa kotak berisi kue yang baru saja dia beli di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya terdapat sebuah kotak dengan pita berwarna hitam. Dia berdiri di depan pintu yang masih tertutup sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya.
Panggilan itu ditolak namun bibirnya justru tetap tersungging. Dia membuang napas melalui mulutnya untuk menghilangkan gugup yang semakin terasa. Tak berapa lama, pintu rumah terbuka dan menampilkan wajah cantik seorang ibu yang dihormati oleh Kirania.
"Mama," panggilnya sambil memeluk wanita itu.
"Kirania, akhirnya datang juga." Susan tersenyum lebar. "Mama ada acara arisan sebentar di rumah teman Mama. Kamu langsung naik aja ke kamar Harsa, ya?" Susan terlihat menurunkan volume suaranya.
Kirania terkekeh geli. "Iya, Ma. Hati-hati di jalan, ya!" ucapnya ketika Susan berjalan melewatinya.
Susan mengangguk dan melambaikan tangannya. Kirania kemudian masuk ke dalam rumah dan berjalan dengan santai. Dia berhenti di dapur dan mulai mengeluarkan kue dari kotaknya. Kue itu terlihat simple tapi cantik dipandang. Bentuknya bulat dengan warna hitam putih dengan aksen percikan emas serta tulisan di atasnya. Dengan cekatan Kirania segera memasang lilin bergelombang yang berwarna hitam dan juga emas di atasnya.
Setelah menyalakan lilin yang berjumlah empat buah itu, dia kembali berjalan menuju ke kamar Harsa. Gadis itu berjalan dengan sangat berhati-hati supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak dia inginkan. Senyumnya tetap tersemat dan membuat wajahnya terlihat semakin cantik.
Sore itu, Kirania memakai dress selutut berwarna putih. Dia ingat saat Harsa mengatakan bahwa pria itu ingin melihat Kirania memakai dress sesekali. Gadis itu bahkan sudah membelinya sebelum pulang kampung kemarin.
Kirania kemudian tiba di depan kamar Harsa. Pintunya tertutup rapat. Dia menghembuskan napas sambil menyentuh handle pintu.
"Satu... Dua... Tiga!" Dia membuka pintu itu dengan wajah ceria. "Selamat ulang tahun!" teriaknya girang.
Sunyi. Senyuman di wajah gadis itu perlahan surut. Binar di matanya meredup dalam sekejap waktu. Dia menelan ludah perlahan dengan mata yang tak berkedip sedikit pun. Pria yang sedang berdiri beberapa meter darinya itu sama terkejutnya dengan Kirania.
Matanya melotot dengan rahang mengeras. "Ki- Kirania?" Dia bahkan terbata ketika menyebut nama sang kekasih. "Kamu kapan pulang ke Jakarta?" tanya pria itu sambil melepaskan tangannya dan perut wanita hamil di hadapannya.
Kirania hanya diam dengan mata berkaca-kaca. Kakinya terasa lemas seperti agar-agar. Tangannya bergetar hebat. Dia seperti sedang bermimpi di sore hari yang cerah. Oh, sepertinya hujan akan segera turun. Kirania berbalik sebelum Harsa dapat mencapai tubuhnya.
Dia berlari sekuat tenaga setelah sempat meletakkan kue dan kado untuk pria itu di atas meja yang berisi foto-foto keluarga, tepatnya di luar pintu kamar Harsa sebelah kanan. Kirania fokus dengan langkahnya dan tidak mau mendengarkan panggilan pria yang telah menjadi kekasihnya itu.
"Kirania!" panggil Harsa.
Pria itu berjalan cepat dan hendak menuruni tangga namun lengannya ditahan oleh Nania. "Na, kasih aku kesempatan buat ngomong sama Kirania," ucapnya dengan sorot mata memohon.
Nania menggelengkan kepala dengan mata yang sudah berair. "Nggak! Kamu nggak boleh pergi!" ucapnya dengan nada tegas.
"Na, aku harus menyelesaikan semuanya." Harsa melepaskan pegangan tangan Nania pada lengannya.
Pria itu berlari menuruni tangga tanpa menoleh ke belakang. Dia membiarkan Nania menangis tersedu. Harsa terus menyebut nama Kirania di dalam hatinya. Kirania buru-buru pergi dari sana karena rasa kecewa yang selama ini dia coba tepis mendadak membesar dan hampir membuat dadanya meledak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...