Berdamai dengan keadaan...
Adalah sebuah keputus(asa)an yang pada akhirnya harus kupilih kurang lebih tiga tahun yang lalu.Memberikan kesempatan, menerima ungkap kata yang menguar penuh harap, sekali lagi, entah untuk alasan apa lagi. Pada akhirnya aku memilih untuk bertahan tanpa melawan.
Pasrah.
"Mamaaaa, adek dapet ikan!"
"Iya... Hati-hati, adek!"
Lambai tanganku mengayun pada dua sosok laki-laki yang masih enggan meninggalkan tepi danau sore hari ini. Keduanya terlihat riang memamerkan hasil pancingnya padaku yang menolak untuk bergabung. Memilih untuk duduk di bawah pohon rindang ditemani semilir angin sore serta bekal nasi ikan lele si kecil yang tersisa beberapa suap.
Tak habis, dan aku tak paksa memintanya untuk dihabiskan.
Biar saja.Memutuskan untuk kembali dan menetap di Bandung, rasanya seperti kembali hidup dengan si tengil penuh kejutan yang kutemui beberapa tahun silam.
Banyak kilas balik yang mengenyangkan rinduku akan sosok Nuga yang sederhana. Sosok yang mengajariku rasa jengkel yang diselipkan rasa aneh di dalamnya, rasa khawatir dan hilang... Ketika ia tak nampak dalam jarak pandang.
Aku tidak bilang bahwa kepindahan kami adalah keputusan yang tepat. Rasa percayaku pada Nuga juga belum sepenuhnya kembali. Tetapi Senang rasanya melihat keluarga kecilku tumbuh di rumah yang ku impikan sederhana. Nuga membersamaiku dan Denzell di setiap momentum indah di dalamnya, tanpa harus merasa khawatir di setiap detiknya.
"Huwaaaaaaaa adek gak mauuuuu!! Gak mauuuu!!!"
Kekehanku muncul ketika laki-laki yang dipanggil 'bapak' ini membawa Denzell pergi dari tepi Danau menuju ke arahku yang mulai merapikan beberapa barang bawaan kami. Kalian harus tahu bagaimana cara si bapak ini menggendongnya... Seperti karung beras kecil yang dipikul di pundak, sementara sebelah tangannya yang lain membawa ember beserta alat pancing dengan susah payah. Tak henti bicara disertai rengekan.
"Adek kenapa?" Denzell yang masih menangis kemudian turun dari gendongan Nuga menuju dekapanku. Jangan tanya soal aroma tubuhnya yang masam akibat keringat dari paparan matahari itu. Meski aku masih bisa mencium aroma sunscreen-nya samar-samar.
"Bapak bilang mau buang ikan adek!"
"Dih? Siapa yang bilang papa mau buang ikan adek?! Papa bilangnya mau buang adek yeeee salah denger!"
"HUWAAAAAAAAAA MAMAAAAA...."
"Bapak Nugraha..."
"Siap salah, komandan sayang!" Nuga si usil, si serba tahu, si menyebalkan. Bahkan hanya dari nada bicaraku yang berubah, ia langsung paham situasi tiap kali aku mulai memintanya untuk serius,
Sedikit.
Tubuhnya yang masih dalam sikap sempurna itu kemudian mulai berjongkok, mensejajarkan tubuhnya bersamaku dan Denzell yang masih memeluk, tantrum tak berkesudahan.
Tak ada wajah tengil yang kutatap. Seketika berubah menjadi wajah teduh penuh kehangatan. Aku selalu merasa dicintai penuh lewat tatapan seperti ini, dan itu kusadari sejak ia sungguh-sungguh memintaku untuk menemaninya seumur hidup beberapa tahun lalu.
"Mau pulang naik pesawat, atau naik burung elang?!"
Hening.
Denzell masih enggan bicara sambil mengeratkan pelukannya di tubuhku. Tapi bukan Nuga namanya jika kehabisan akal, ia selalu punya banyak cara untuk meluluhkan siapapun,