selamat membaca!
Kami kembali ke hotel setelah tau sekarang sudah malam, dengan Shani yang sudah mengabari Gita bahwa kami kembali, dan menyuruhnya untuk mengunjungi kami di kamar ini.
Aku duduk pada kursi yang menghadap ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan yang bagus di luar sana, Shani mendekat ke arah ku setelah dia membuka pintu untuk Gita dan Kathrina.
Kathrina berlari ke arah ku, menatapku dengan tatapan khawatir, membawa ku dalam pelukannya, dan memelukku erat.
"Kak, jangan sedih ya? Kan ada kita di sini, Kakak masih punya kita kok," bisik Kathrina.
"Nanti ada aku yang bakalan nemenin Kakak jalan-jalan, ada Kak Gita yang bakalan jadi supirnya, ada Cici yang jadi donatur kita pas jalan-jalan. Jadi Kakak jangan pernah mikir untuk ninggalin kita," lanjut ku.
Kathrina memegang kedua pipi ku, mengusap air mata yang jatuh, Gita ikut mendekat, setelahnya dia merangkul Shani.
"Surga ku itu kalian, jadi tolong jangan pergi sebelum aku yang mendahului, karena aku belum tentu bisa hidup tanpa kalian," ucap Gita.
"Karena itu kalian adalah tempat ternyaman aku untuk pulang. Jangan pernah berpikiran untuk saling meninggalkan ya?" sambung Kathrina.
"Walaupun sulit, jangan pernah memilih untuk pergi ya? Kita di sini pasti akan bahagia, percaya sama aku kan? Kita akan buat bahagia versi kita!" teriak Kathrina.
Kathrina berteriak antusias, aku mengangguk dengan kembali memeluk tubuhnya.
Sisca sudah tidur dengan memeluk tubuh ku, setelah lelah menangis berjam-jam tadi dia memilih untuk mengajak ku tidur.
Gita dan Kathrina sudah kembali pada kamar mereka sendiri, dengan aku yang masih memeluk Sisca, sesekali ku rapikan rambut yang menghalangi wajahnya, hingga akhirnya dia bangun.
"Berapa lama aku tidur?" tanyanya.
Sisca sibuk mengusap matanya yang sedikit bengkak dengan hidungnya yang merah.
"Sekitar 2 jam, mungkin? Lapar ya?" tanya ku.
Dia tersenyum padaku, "iya, ada makanan?" tanyanya.
Ku bawa tubuhnya untuk duduk, memintanya setelah itu untuk mencuci wajahnya.
"Aku pesan makan dulu, kamu cuci muka sana. Setelah itu rebahan lagi aja ya? Istirahat dulu," perintah ku.
Dia kali ini menggeleng, menatap ku dengan tatapan sendu.
"Udah puas tidurnya, nanti kalau tidur malah sakit kepala, kan kita nanti agak malam mau jalan," lirihnya.
Aku mendekat ke arahnya setelah selesai ku pesan makanan, ku pegang kedua bahunya.
"Ga jadi jalan ya? Lebih baik kita istirahat dulu, ga masalah kan?" ucap ku.
Di menatapku dengan tatapan tak suka, "supaya mood aku kembali, jadi ayo jalan-jalan. Atin juga udah happy banget, masa kita batalin? Kasian, mana dia pertama kali kan ke Yogyakarta?"
"Jangan batal ya? Nanti habis makan aku istirahat lagi, tapi jangan dibatalin, ok?" usul Sisca.
Aku tersenyum, namun tetap menggeleng, tidak setuju dengan ucapannya.
"Cuci muka sana, biar aku siapin makannya," tegas ku.
Aku berjalan ke arah pintu dengan dia yang ke kamar mandi, dengan aku yang menyiapkan makanan untuknya selesai juga dia dengan kegiatannya.
Aku membawa dia untuk duduk pada kursi yang ada, berniat untuk menyuapinya, "aku bisa sendiri, mending kamu makan punya kamu juga," tolaknya.
Kami makan dalam diam, ditengah kami yang sedang makan tiba-tiba dia membuka suara.
"Shan? Untuk sekarang, kamu ada niatan pergi dari aku ga?" tanyanya.
Aku terdiam, tidak menjawabnya namun aku memilih untuk memberikannya senyuman.
Setelah selesai makan aku membuat kursi miliknya untuk menghadap ke arahku, menatapnya yang sekarang tersenyum.
"Tidak. Tapi kalau kamu memilih pergi, hatiku pasti ikut mati," jelas ku.
Aku menangkup kedua pipinya, ku cium keningnya lama, lalu mencium sekilas bibirnya, memberikan senyum ku untuknya.
"Karena itu, jangan pernah memilih untuk meninggalkan aku ya? Karena setengah dari jiwa ku ada bersama kamu, setengah dari cintaku ada pada cintamu," lanjut ku.
Kali ini dia memegang bahu ku, meremasnya kuat, wajahnya sudah tidak lagi ceria, pipinya basah akan air mata.
"Aku ga janji ya? Tapi aku usahakan, semoga pula usaha kita selama satu tahun ini tidak sia-sia. Semoga pula jalan yang kamu buat lengkap dengan petunjuknya bisa kamu gunakan untuk kembali pulang ya?" lirih Sisca.
Aku mengusap pipinya, menghapus air mata miliknya yang jatuh.
"Jangan seperti itu, kamu harus tetap jadi pelengkap segala petunjuk jalan untuk hidupku," balas ku.
Aku menarik tangannya, menahannya untuk ku cium.
"Kamu tau ga, Shan? Tadi, aku mimpi mereka lagi. Setelah satu tahun aku hidup tanpa mimpi itu. Tapi kali ini beda, Shan. Mereka ga minta aku untuk mati, tapi mereka langsung narik tangan aku," jelas Sisca.
Aku melihat dia yang kembali menunduk, dengan bahunya yang terlihat bergetar.
"Mereka keliatan marah, mereka marah Shan. Mereka pasti marah karena aku selama ini milih buat ga nyusul mereka kan? Sedangkan aku malah bahagia padahal mereka di sana ga bahagia," lanjut Sisca.
Bahunya benar-benar bergetar, tangisnya juga kembali terdengar, aku membawanya dalam pelukku, membiarkan dirinya menangis sepuasnya dalam pelukanku.
Sesekali dia memukul bahu ku, sesekali pula dia memukul dirinya sendiri, dia menjauhkan tubuhnya, memukul dadanya dengan menatap ke arahku.
"Sesak, Shan. Nyatanya bahagia yang selama ini aku dapat bisa hancur begitu aja cuma karena mimpi sialan? Sakit, Shan."
Aku menahan tangannya, kembali membawa tubuhnya untukku peluk, ku biarkan kembali dirinya untuk menangis, hingga suara apapun tidak dapat terdengar di telinga ku.
Ku jauhkan tubuhnya, yang ku dapati bahwa dia sudah tertidur lagi, ku angkat tubuhnya, membawa dia pada tempat tidur.
Aku merasakan bahwa tubuhnya hangat, mungkin saja dia kelelahan, dengan begitu aku meminta Gita dan Kathrina kemari, meminta mereka untuk menjaganya selama aku pergi.
Aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar, membeli obat juga beberapa cemilan untuk Gita dan Kathrina selagi menunggu malam.
Aku dengan pikiran yang lelah dan ikut hancur melihat dirinya kembali seperti dulu, hanya tangisan yang dapat ku dengar, hanya cacian untuk dirinya sendiri yang selalu dia ulang, hanya pukulan untuk dirinya sendiri yang membuatnya tenang.
Dia hampir saja mati karena keinginannya untuk lekas menyusul orang yang dia sayangi, dengan sengaja memecahkan kaca kamar lalu ingin menyayat nadi miliknya lagi.
Aku kembali ke hotel dengan pikiran yang jauh lebih baik, jauh lebih tenang setelah melihatnya dapat tertidur nyenyak, walau tubuhnya terasa hangat.
Dengan begitu malam yang seharusnya kami gunakan untuk menikmati kota Yogyakarta kali ini kami batalkan, kami memilih untuk saling berdiam diri di dalam kamar hotel masing-masing.
Dengan aku yang selesai mengompres dirinya, setelah itu aku kembali tidur tepat di sampingnya, memeluk tubuhnya dari belakang.
────
KAMU SEDANG MEMBACA
kita | shansis - end
Randomini tentang perjalanan dengan rusak, patah, dan luka 'kita' setelahnya.