HAPPY READING
Di saat senja itu, Gibran dan Adara melaju perlahan di jalanan yang mulai sepi. Angin terasa dingin, tetapi di antara mereka ada kehangatan yang samar-samar tercipta. Adara duduk di boncengan, tangannya mencengkeram bagian belakang jaket Gibran dengan ragu. Namun, ekspresinya sedikit berubah saat menyadari bahwa mereka melaju ke arah yang berbeda.
“Gibran,” panggil Adara dari belakang, suaranya sedikit keras karena angin malam yang berhembus.
“Hmm?” sahut Gibran tanpa menoleh, tetap fokus pada jalan di depan.
“Lo... bawa gue ke mana sih? Ini bukan jalan pulang gue,” ucap Adara dengan nada agak tajam, matanya memandang sekitar yang terasa asing. “Gue bilang tadi mau pulang, kan?”
Gibran meliriknya sekilas dari kaca spion, tersenyum kecil yang sepertinya ditujukan untuk menenangkan Adara. “Sabar, gue cuma muter sebentar. Ada tempat yang mau gue tunjukin.”
“Tempat?” Adara menatapnya curiga. “Lo serius, Gib? Gue beneran mau pulang. Lagian udah malam.”
“Bentar aja, sumpah,” kata Gibran, kali ini dengan nada memohon. “Gue janji enggak lama-lama.”
Adara mendengus kesal. “Kenapa sih lo enggak pernah bilang dari awal? Gue kan jadi mikir aneh-aneh!”
Gibran tertawa kecil, dan suara tawanya menggema lembut di antara deru angin malam. “Gue mau bikin surprise, Dar. Kalau gue bilang dari awal, ya namanya bukan surprise lagi.”
Adara mengerucutkan bibirnya, merasa gemas. “Surprise atau cuma akal-akalan lo buat bikin gue muter-muter doang?”
“Enggak kok. Gue beneran niat baik,” jawab Gibran cepat, mencoba meredakan kekesalan Adara.
Adara menghela napas panjang, tetapi ia akhirnya memilih untuk menurut. Meski merasa sedikit kesal, ia tetap penasaran. Apa yang sebenarnya direncanakan Gibran? Di antara kekesalannya, ada perasaan aneh yang mengusik hatinya. Sebuah rasa ingin tahu yang tak bisa ia jelaskan.
Mereka melaju melewati jalan-jalan kecil, dan akhirnya Gibran berhenti di sebuah tempat yang tidak terlalu ramai. Di depan mereka ada sebuah taman kota yang tersembunyi di balik bangunan-bangunan tinggi. Bunga-bunga yang bermekaran, membuat tempat ini tampak indah meski matahari semakin terbenam.
“Apa kita ke sini cuma buat ngelihat taman?” tanya Adara, nada kesalnya belum hilang sepenuhnya.
Gibran mematikan mesin motor dan menoleh ke belakang, menatap Adara dengan senyum yang begitu lembut sehingga membuat gadis itu tertegun sejenak. “Gue cuma mau ngasih lo sesuatu yang lebih berarti dari sekadar mawar tadi. Gue enggak punya banyak cara buat ngungkapin perasaan gue selain ini.”
Adara masih memasang wajah bingung ketika Gibran turun dari motor dan membuka bagasi motornya. Ketika ia kembali berdiri di depan Adara, di tangannya sudah tergenggam sebuah kotak kecil berwarna merah. Adara menatap kotak itu dengan alis terangkat.
“Apa itu?” tanyanya penasaran, kekesalannya perlahan menguap digantikan oleh rasa ingin tahu yang makin besar.
Gibran tersenyum lagi, lalu membuka kotak tersebut dengan perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah kalung perak sederhana dengan liontin berbentuk mawar kecil. Cahaya lampu taman yang redup membuat kilauan kalung itu terlihat lebih indah. Adara terdiam, tidak menyangka bahwa Gibran akan memberikan sesuatu yang seperti ini.
“Gue tahu, gue sering bikin lo marah. Gue sering ngelakuin hal-hal bodoh yang ngebuat lo kesal,” kata Gibran pelan, suaranya penuh ketulusan. “Dan gue tahu lo mungkin enggak akan langsung maafin gue. Tapi, kalung ini... anggap aja sebagai simbol janji gue buat berubah.”
Adara menatap Gibran tak percaya. “Kenapa, Gib? Kenapa lo repot-repot?”
“Karena lo penting buat gue, Dar.” Gibran menatapnya lurus, tanpa keraguan. “Gue tahu ini enggak akan cukup buat nebus semua salah gue, tapi... gue cuma pengen lo tahu, gue mau berubah. Dan gue butuh lo buat ingetin gue, biar gue enggak kembali kayak dulu lagi.”
Adara menelan ludah. Kata-kata Gibran begitu tulus, begitu berbeda dari biasanya. Dia ingin marah, ingin mengatakan bahwa ini semua terlalu mendadak. Tapi, di saat yang sama, ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa tersentuh. Tindakan Gibran yang sederhana tapi bermakna itu membuat hatinya bergetar.
“Gibran... lo gila ya?” ucapnya pelan, matanya berkaca-kaca. “Lo enggak perlu ngasih gue ini.”
Gibran tersenyum kecut, lalu menundukkan kepalanya sedikit. “Gue tahu gue enggak perlu. Tapi gue mau. Gue mau ngasih sesuatu yang bisa lo lihat setiap hari. Sesuatu yang bisa ngingetin lo... bahwa gue akan terus berusaha jadi lebih baik, bukan cuma buat gue, tapi juga buat lo.”
Adara menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia masih marah, tapi entah kenapa melihat Gibran seperti ini membuat kemarahannya melembut. Ia merasa kalah oleh kejujuran pemuda itu, oleh tekad yang tersirat di balik semua kekacauan yang selama ini menyelimutinya.
“Gua masih kesel sama lo, tau enggak?” gumam Adara pelan, matanya menatap kalung itu dengan campuran emosi yang rumit.
“Gue tahu. Dan itu enggak masalah,” jawab Gibran. “Lo bisa marah sesuka lo, bisa cuekin gue sepuasnya. Tapi, gue akan tetap berusaha berubah. Karena gue enggak mau kehilangan kesempatan buat bisa deket sama lo.”
Adara terdiam, hatinya berdebar. Ia menatap kalung itu sekali lagi, lalu, dengan gerakan pelan, ia mengambil kotak itu dari tangan Gibran. Matanya menatap pemuda itu penuh makna.
“Kalau gue nerima ini, lo harus janji enggak akan ngecewain gue lagi, Gib,” bisiknya.
Gibran mengangguk tegas. “Gue janji.”
Untuk sesaat, dunia di sekitar mereka seolah membeku. Adara memandang kalung itu, lalu tersenyum kecil, meski masih ada sisa kekesalan di wajahnya.
“Kalau gitu, mulai sekarang jangan bikin gue kesal lagi, ya,” katanya sambil menghela napas. “Gue bisa jadi lebih galak dari ini kalau lo masih seenaknya.”
Gibran terkekeh, senyum bahagia terlukis di wajahnya. “Siap, Kapten. Gue bakal patuh sama perintah lo.”
Adara tak bisa menahan senyum. Malam itu, di bawah langit berbintang, mereka memulai kembali hubungan mereka dengan janji dan harapan baru—janji untuk berubah dan menjadi lebih baik, meski jalannya masih panjang dan penuh tantangan.
Bersambung...
-JANGAN LUPA DIVOTE YA GUYS-
KAMU SEDANG MEMBACA
Perantara Gidara
Teen FictionAdara Bianca & Gibran Narendra adalah kisah tentang pertemuan dua jiwa yang terjalin dalam konflik. Adara, sosok gadis yang sulit percaya dengan orang yang sudah mengecewainya dan Gibran, sosok pemuda yang berjuang untuk mendapatkan hati Adara meski...