08. JANJI

382 34 4
                                    

HAPPY READING

Setelah Adara menerima kalung itu, mereka akhirnya memutuskan untuk beranjak dari taman dan melanjutkan perjalanan pulang. Gibran kembali menyalakan motornya, lalu Adara naik ke boncengan dengan hati yang masih terasa campur aduk. Ia menatap punggung Gibran dari belakang, memikirkan semua hal yang baru saja terjadi. Pemuda yang duduk di depannya ini memang selalu membuat perasaannya tak menentu - satu saat bisa begitu menyebalkan, namun di saat lain, ia bisa bersikap manis dengan cara yang tak terduga.

Waktu semakin larut, dan jalanan kota tampak semakin sepi. Hanya deru mesin motor dan suara angin yang terdengar di antara mereka. Tidak ada percakapan, hanya keheningan yang terasa menenangkan, namun juga menyisakan keraguan di hati Adara. Ia menunduk, menatap kalung perak di genggamannya. Liontin berbentuk mawar itu begitu sederhana, namun ada sesuatu yang membuatnya merasa hangat.

Setelah beberapa saat, akhirnya Gibran berhenti di depan rumah Adara. Ia mematikan mesin dan berbalik, menatap Adara yang masih duduk di belakangnya dengan tatapan lembut.

"Sampai juga," katanya sambil tersenyum.

Adara turun dari motor dengan hati-hati, lalu berdiri berhadapan dengan Gibran. Mereka saling menatap dalam diam untuk beberapa detik, seolah ada hal-hal yang ingin diucapkan tapi sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Akhirnya, Adara menghela napas panjang, melipat tangan di depan dada.

"Lo tahu, ya? Gue masih kesel sama lo, kan?" ucap Adara, nada suaranya terdengar tegas, namun ada sedikit senyuman di sudut bibirnya.

Gibran terkekeh pelan, lalu mengangguk. "Gue tahu. Tapi, setidaknya lo mau nerima kalung itu. Jadi, gue anggap ini kemajuan buat gue."

Adara memutar matanya, mencoba menyembunyikan senyum yang semakin sulit ia bendung. "Dasar lo! Kalau gue nerima kalung ini, bukan berarti lo udah aman. Gue masih akan terus ngawasin lo, Gib. Jadi jangan harap lo bisa bebas bikin onar kayak dulu."

Gibran menatapnya, mata hitamnya berkilat dengan rasa percaya diri. "Gue enggak akan macam-macam lagi. Gue udah janji, kan?"

Adara menatapnya lama, seolah mencari tanda-tanda kebohongan di wajah Gibran. Tapi, yang ia temukan hanya ketulusan. Ia akhirnya mengangguk pelan, menyerah pada perasaan aneh yang muncul di dadanya.

"Baiklah," gumam Adara pelan. "Gue percaya sama lo, Gib. Tapi ingat, kalau sekali aja lo bohong atau ngecewain gue lagi, gue enggak akan segan-segan buat pergi."

Gibran tersenyum kecil, lalu mendekatkan wajahnya sedikit, menatap Adara dengan intens. "Lo enggak akan pergi. Karena kali ini, gue bakal buktiin ke lo. Gue akan berubah, dan enggak ada lagi yang bisa bikin lo ragu."

Adara menelan ludah, merasa gugup dengan jarak mereka yang begitu dekat. Wajah Gibran hanya berjarak beberapa inci darinya, dan ia bisa merasakan hembusan napas pemuda itu. Sejenak, hatinya berdebar keras, tetapi ia meneguhkan diri untuk tidak memperlihatkan kegugupan itu.

"Jangan terlalu yakin, Gibran," bisik Adara, suaranya terdengar menantang.

Gibran menatapnya lebih dalam, lalu tersenyum lembut. "Gue bukan yakin, tapi gue janji. Ada hal-hal yang enggak akan gue biarkan hilang dari hidup gue... termasuk lo."

Adara membuang muka, wajahnya memerah. "Gibran!" serunya pelan, mencoba menutupi rasa malunya. Namun, Gibran hanya tertawa pelan.

"Ya udah, sana masuk," katanya sambil menatap pintu rumah Adara. "Udah mau malam, jangan sampai dimarahin lagi."

Adara menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. "Iya. Lo juga hati-hati, jangan kebut-kebutan lagi."

Gibran menunduk sedikit sebagai tanda mengerti, lalu kembali memasang helmnya. Namun, sebelum menyalakan mesin motornya, ia menatap Adara sekali lagi.

"Adara," panggilnya pelan.

"Hm?" sahut Adara, mengangkat wajahnya.

"Selamat malam. Dan makasih... udah percaya sama gue lagi."

Adara hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan senyumannya yang perlahan muncul. "Iya, malam, Gib. Jangan bikin gue nyesel, ya."

Gibran tertawa kecil, lalu menyalakan motornya. "Gue enggak akan nyeselin lo lagi. Gue janji."

Dengan itu, Gibran melaju pergi, meninggalkan Adara yang berdiri di depan rumah dengan tatapan yang tak lepas darinya. Saat motor Gibran menghilang di tikungan, Adara menarik napas dalam-dalam, menatap kalung mawar di tangannya, dan tersenyum kecil.

"Gila, cowok itu memang bikin gue gila," gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Meski begitu, ada rasa hangat yang mengisi hatinya malam itu. Gibran mungkin masih keras kepala dan sering bertindak sembarangan, tapi kali ini, Adara merasa... mungkin dia benar-benar mau berubah.

Dengan pikiran itu, Adara berbalik, melangkah masuk ke dalam rumah. Mungkin, ini bukan hanya awal dari perubahan Gibran. Ini juga awal dari hubungan mereka yang perlahan mulai berkembang, meski mereka sendiri masih belum tahu ke mana semua ini akan membawa mereka.

Namun, untuk malam ini, Adara memilih untuk percaya. Dan dengan senyuman kecil yang masih tersisa di bibirnya, ia yakin bahwa kepercayaan itu bukanlah hal yang sia-sia.

Bersambung...


-JANGAN LUPA DIVOTE YA GUYS-

Perantara GidaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang