3. Darah Panas

115 8 0
                                    

Rasanya ada palu raksasa jatuh dari langit, tertancap tepat di jantung Ruby.

Dia buru-buru menyembunyikan buku-buku jari di bawah meja, meremas gaunnya. Kuku-kuku serigala akan memanjang bila menghadapi ancaman.

"Maksudmu? Pernyataan konyol macam apa itu?" kilah Ruby membubuhkan kekehan.

Apa penyamarannya terbongkar? Dia menelisik lebih lama arti di balik tatapan misterius Jay.

"Maksudku, aku tahu ras manusia bermata biru sangat langka dan harus kuakui punyamu tercantik," ucap Jay.

Barulah kuku-kuku Ruby menyusut. Ruby menghela napas lega, sementara Jay menarik diri kembali ke tempat duduknya.

"Kenapa kamu tampak tegang, Sayang?"

"Karena ... sanjunganmu? Dan, kita agak intim juga." Rubi setengah berterus terang, setengahnya lagi mengelak. Selanjutnya, menukikkan balik pertanyaan.

"Bagaimana denganmu? Matamu merah? Kau memakai lensa mata atau seorang vampir?"

Sebuah boomerang. Ruby bersedekap, bangga dengan ide kilatnya.

"Vampir?" Jay terbahak. "Kamu suka menonton film ya. Gadis yang lucu!"

Cubitan vampir mirip capitan kepiting. Sakitnya tak berasa, risihnya luar biasa. Tetap saja, Ruby tak tahan pipinya diunyel-unyel.

"Mereka tidak mungkin ada di dunia nyata, Sayang. Apakah kamu seseorang yang percaya teori-teori konspirasi?"

"Tidak, tidak terlalu. Lupakan saja, aku bercanda. Toh karakter vampir akan terus populer selama berabad-abad, bukan? Hal umum, bukan berarti aku suka. Sejujurnya bicara tentang vampir sedikit menakutkan," kilah Ruby.

"Benarkah? Jangan menutupi apa pun. Barangkali kau takut minatku padamu berkurang karena aku bicara seperti itu. Jangan khawatir sayang. Itu bukan masalah besar. Sebaliknya—"

Jay menumpukkan kedua lengan di permukaan meja. Kepalanya miring berukirkan senyum menggoda, "tell me more about you."

"Apa yang ingin kau tahu?"

"Mari kita bicarakan di tempat lain," cetus Jay.

Alis Ruby terangkat sebelah. Dalam hati ia menebak-nebak tempat macam apa yang digunakan para vampir modern mengeksekusi mangsa.

Di zaman teknologi serba canggih, meningkatnya ilmu pengetahuan dan nalar manusia, mereka pasti memainkan trik khusus.

Kendaraan roda empat meluncur mulus meninggalkan pantulan-pantulan cahaya kota.

Jay menutup atap mobil kala bahu terbuka Ruby diterpa kibasan perpohonan rimbun.

"Mau memakai jasku? Kau terlihat kedinginan." Jay menawarkan.

Lidah Ruby menahan decihan, cukup menggeleng. Semestinya Jay melakukan itu sejak tadi. Ketahuan sekali vampir ini jarang menonton drama romansa. Hari-harinya mesti membosankan mengurus vampir-vampir korporat.

Ruby melesakkan kepala ke sandaran empuk. Diam-diam melirik cara Jay memandangi jalanan kosong. Celah waktu di mana vampir itu membuang perlakuan palsu sok romantis. Lipatan mata merapat, kosong, tak ada tanda-tanda kehidupan. Sepi.

Dia hidup abadi, memutuskan terkukung dalam peran manusia, mengumpulkan klan tanpa adanya kesatuan di dalamnya. Para vampir umumnya hidup sendiri-sendiri, suka ribut merebut mangsa, egois.

Benak Ruby dihunjami pertanyaan-pertanyaan perihal terbentuknya RED-EYEZ serta rahasia-rahasia di baliknya. Ruby menduga Jay dikelilingi orang-orang penting.

Vouszetaeyez: Vampire's Blind Date Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang