02. Belenggu Sendu

41 14 0
                                    

"Terkadang rasa sakit dari luka yang tak terlihat lebih berbahaya, daripada luka yang berdarah"

🎶

Seorang anak tengah berbaring beralaskan kasur yang nyaman, menatap lurus ke atas memandangi indahnya temaram lampu berbentuk bintang dan bulan yang melekat pada langit-langit kamarnya.

Ia mengangkat lengannya, menatap miris pada perban yang sepenuhnya telah membalut lukanya.

Apakah ia merasa sakit? jawabannya tentu saja tidak, ia tak pernah tau bagaimana rasanya sakit akibat terluka secara fisik, dan selamanya mungkin tidak akan pernah tau bagaimana rasanya.

Saat di rumah sakit ia segera dilarikan ke Unit Gawat Darurat (UGD) karena pendarahan dari lukanya yang tak kunjung berhenti, serta proses pengambilan pecahan vas yang masih tertinggal di lengannya, dan ia juga harus mendapat beberapa jahitan untuk menutup lukanya.

Setelah semua selesai ternyata ia masih harus menyusuri koridor bernuansa putih itu, mencari sebuah pintu dengan tulisan poli saraf.

Dokter di sana melakukan beberapa tes kepadanya, entahlah apa fungsi dari tes tersebut, anak berlesung pipi itu tidak terlalu paham.

"Pasien atas nama Muhammad Ega Arsandy, mengalami kelainan genetik Congenital insensitivity to pain with Anhydrosis atau penyakit CIPA, kondisi dimana anak ibu mengalami ketidakpekaan terhadap rasa sakit dan anhidrosis, untuk lebih jelasnya ibu bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium" Dokter memberikan sepucuk surat kepada Risa, wanita itu menerimanya setelah itu pergi keluar dari  ruang dokter bersama Sandy.

Namun baru saja ia keluar tubuhnya tiba-tiba merosot kelantai, dengan deraian air mata membasahi pipinya, tak lupa isakan pilu yang membuat hati Sandy begitu sakit mendengarnya.

Sandy segera meminta ibunya untuk duduk di kursi tunggu yang terdapat di koridor, setelahnya ia bermaksud untuk mencarikan air minum untuk ibunya agar lebih tenang, namun wanita itu justru menarik tubuhnya, merengkuhnya dalam pelukan hangat.

Suara pintu yang terbuka membuyarkan lamunannya, kini fokusnya tertuju pada Risa yang memasuki kamarnya sembari membawa nampan berisi makanan disana.

"Sandy makan dulu ya? Maaf ibu lupa kalau kamu belum makan dari tadi siang" Sandy segera merubah posisinya menjadi duduk, dengan Risa yang kini duduk tepat disebelahnya.

"Sandy sebenernya nggak laper sih, tapi sini makanannya, ibu kan udah capek-capek buatin buat Sandy" Sandy berusaha mengambil alih nampan berisi makanan itu dari tangan ibunya, namun Risa malah menjauhkannya dari jangkauan Sandy, sembari menggeleng pelan.

"Ibu suapin aja, lagian kamu jangan terlalu banyak gerak deh, nanti tangan kamu makin parah, aaa..." Risa menyendokkan sesuap makanan yang tentu saja langsung disambut oleh Sandy.

"Sandy nggak papa kok bu, ibu jangan khawatir gitu" Ucapnya setelah menelan makanan yang masuk ke dalam mulutnya.

"Justru karena kamu nggak papa, ibu takut kamu kenapa-kenapa Sandy" Jawab Risa masih setia menyuapi anaknya.

"Besok kamu harus periksa lagi kerumah sakit, jadi jangan kemana-mana, di rumah aja, sore waktu ibu pulang kerja kita kerumah sakit oke" Sandy hanya mengangguk sebagai jawaban, mulutnya masih penuh dengan makanan.

Setelah Sandy menghabiskan makanannya, Risa segera bangkit bermaksud pergi dari kamar Sandy membawa nampan berisi piring kotor.

"Kenapa lagi Sandy?" Tanya Risa saat lengannya ditahan oleh putranya itu.

"Ibu malam ini tidur disini aja, takutnya ayah pulang kerumah" Ucap Sandy menatap lekat Ibunya, Risa tersenyum mendengar penuturan putranya.

"Iya, ibu balikin piring dulu ke dapur, terus nanti kesini lagi" Sandy mengangguk mengiyakan, kemudian melepaskan genggaman tangannya pada lengan Risa.

- --- -- --- .-. .-. --- .-- (Tomorrow) || TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang