XI - 3273

114 11 5
                                    

Berbicara tentang cinta, Nagi tau Reo orangnya. Yang bisa membuatnya nyaman, yang bisa membuatnya sayang.

Berbicara tentang cinta, Nagi tak tau apa yang ada dalam benak papanya.

Nagi tatap manik ungu yang lagi-lagi sibukkan diri dengan buku dan kopinya. Seakan tak juga lelah duduk selama delapan jam lamanya, terhitung untuk jam sekolah juga, Reo lagi-lagi kembali berkutat dengan buku-buku yang Nagi anggap sama menyebalkannya dengan kopinya.

Ia raih tangan Reo untuk bisa lebih dekat dengannya. Tahu bahwa si putih bosan, yang memiliki tangan pun diam, memberikan tangannya untuk Nagi mainkan.

Nagi mainkan jari jemari lentik itu. Ia usap ibu jarinya, berpindah pada jari telunjuknya, berlanjut hingga yang paling pendek dibelainya. Ia bawa tangan itu dalam genggamannya, mengangkatnya pelan agar tidak menganggu konsen yang bersangkutan, lantas ia kecup ringan punggung tangan yang ia genggam.

Reo sukses teralihkan, fokusnya sudah bubar sejak usapan pertama. Sentuhannya begitu memabukkan hingga Reo diam seribu bahasa untuk cerna kejadian yang baru saja berlalu.

Itu bukan pertama kali. Pun Nagi dan Reo sudah pernah lakukan lebih, tapi tak juga Reo terbiasa dengan sensasi menggelitik di perutnya. Bagai kupu-kupu berterbangan, memberikan rasa nyaman yang sempurna adanya.

Nagi lanjutkan aksinya, tautkan tiap jemarinya sembari mengawasi si lilac yang membatu tubuhnya. Mungkin bingung harus bereaksi seperti apa, mungkin juga bingung harus membalas yang bagaimana.

Reo naikkan alisnya memelas, bibirnya ia katupkan rapat, wajahnya pun hampir merah padam jika surai ungunya tak tutupi wajah. Maka Nagi ajukan tangannya yang lain, singkap surai cantik yang halangi wajahnya, temukan harta berupa semburat merah dengan ekspresi yang sama membuatnya gila.

Oh, betapa Nagi mencinta.

"Sei kenapa jadi clingy banget." Yang lebih mungil alihkan pandangan untuk satu detik, kembali menatap untuk detik selanjutnya dan membuang muka saat ditatapnya mata yang tak alih dari wajahnya sedari tadi.

"Reo gapapa kalau Sei ga cerita?"

Reo tersenyum saat tau alasan dibalik tiap tindakan yang Nagi lakukan sedari tadi. Agaknya yang lebih tinggi sedang bingung dengan perasaannya sendiri. Bergelung dengan berbagai spekulasi yang tak ada jaminan atas benar tidaknya. Bertarung dengan akal yang tak sampai mau pikirkan apa.

"Sei," Reo menggerakkan tangannya yang Nagi genggam, melakukan persis seperti yang Nagi lakukan. Ia tatap dalam mata yang tak berani mendongak tuk balas menatapnya. "Sei kan belum mau cerita, kalau aku paksa nanti sama aja aku yang egois. Aku mau tunggu sampai kamu percaya sama aku buat pegang cerita kamu. Toh kita ga berencana pisah walaupun udah lulus kan?"

Nagi ikut ulas senyum tulusnya saat ia jumpai si lilac tak juga menuntut jawabannya. Karena Nagi sendiri bingung dengan semua perasaan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Problematika rumitnya dengan sang papa tak ayal membuatnya ketakutan setengah mati.

***

Berbicara tentang cinta, Nagi tak tau apa yang ada di benak papanya.

Entah bagaimana sang papa akan gambarkan kata cinta jika ia tanyakan padanya. Apakah dengan kata manis yang hangat dan nyaman ketika ia rasakan kasih sayang, atau dengan cara lain yang tak pernah Nagi bayangkan. Dengan pukulan? Atau lukiskan darah untuk gambarkan?

Hari itu Nagi tak tau apa yang ada di benak papanya saat dirinya hanya bisa mematung saat jumpai sang papa yang berjalan mendekat ke arahnya.

Coffee, Book, and Red Rose [Slow Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang