Jendela ditutup rapat meredam rintik hujan dan gemuruh angin di luar. Tak cukup sampai sana, lampu-lampu pun turut ia matikan, hanya lampu kecil di atas meja yang menyala. Itu pun hanya mampu menerangi satu sudut kecil. Mungkin kata pengap dan sesak pantas mewakili suasana ini. Seolah menyesuaikan dengan raut gadis itu, yang terlihat menyedihkan ketika lampu tak seberapa itu memantulkan cahaya pada jejak-jejak air mata di bawah matanya.
Jemarinya kurus dan sangat pucat, seolah satu tarikan kasar saja bisa menghancurkannya. Meskipun begitu, sorot matanya nampak tidak gentar, jemari itu tetap menyimpan lembar-lembar foto pada bawah sorot lampu seolah ingin melihatnya lebih jelas dan detail.
Ada puluhan lembar foto dengan latar juga sudut bidikan yang berbeda. Namun, tokohnya hanya satu, Zionathan Devardo. Pria 18 tahun yang punya paras dan proporsi tubuh yang bagus. Bukan hanya itu, dia adalah 'Tuan Muda' dari sebuah perusahaan raksasa. Pewaris tunggal yang sudah pasti mendapatkan aset yang melimpah. Secara pandangan manusia, dia sempurna.
"Terlalu sempurna sampe bisa nutupin jati diri yang sebenarnya."
Shanin menghentikan gerakan tangannya begitu pintu ruangan itu terbuka. Sosok wanita 30 tahunan datang menghampiri. Dia Anne, adik dari mendiang ayah Shanin.
"Katanya kamu belum makan," ucap Anne yang kini berdiri di belakang Shanin. Dia masih memakai pakaian formal, setelan kantornya. Meski ada beberapa titik bekas air yang membuatnya tidak terlihat rapi lagi.
"Gimana bisa makan, kalau satu-satunya keluarga yang dipunya sekarang malah nggak ada." Shanin berujar lemah dengan pandangan kosong pada tembok di depannya. Satu helaan napas berat keluar dari bibirnya.
Anne melihat lembar-lembar foto itu. Foto yang dirinya kirim tadi pagi. "Tante memang bukan orang tua kamu, tapi Tante janji bakal selalu ada buat kamu."
Tangan pucat itu mengepal. "Brengsek itu bunuh Seria!"
Anne bergerak cepat, ia menangkap kepalan tangan Shanin sebelum wanita itu memukul meja. Tidak akan ada yang menjadi lebih baik, Shanin justru hanya akan melukai dirinya sendiri.
"Nin, tenang ya?"
Shanin menatap Anne. Bibirnya bergetar dengan air mata yang bercucuran di pipi. "Emang ada di dunia ini kakak yang bisa tenang saat adiknya dibunuh?" Raut Shanin begitu menyedihkan, seolah menggambarkan perasaannya yang benar-benar hancur.
"Tante ngerti perasaan kamu, bukan maksud Tante kamu harus mengesampingkan perasaan atas kehilangan Seria, tapi kamu juga harus perhatiin diri kamu, Nin. Kamu sendiri yang bilang kalau kamu nggak bakal biarin pembunuh Seria gitu aja. Kamu mau balas dendam, kan?"
Shanin terdiam.
"Sekarang liat diri kamu, kamu bahkan nggak makan apa pun beberapa hari ini, terus gimana kamu mau punya tenaga buat lawan Zionathan?"
Kalimat Anne membuat Shanin menunduk. Anne tahu sekarang perasaan maupun pikiran Shanin sedang dalam keadaan yang kacau. Dia sudah kehilangan orang tua karena kecelakaan dua tahun lalu dan baru saja Shanin kembali setelah lama menetap di luar negeri, Shanin malah disambut dengan kematian adik satu-satunya yang sekaligus menegaskan bahwa sekarang dirinya sebatang kara.
Anne menarik tubuh Shanin ke dalam pelukannya. "Tante janji akan bantu kamu buat lawan dia. Meskipun kemustahilannya besar, Tante bakal tetep bantu kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled Memories
Genç KurguShanin kehilangan adiknya, satu-satunya keluarga yang dirinya punya. Hingga terkuak fakta jika adiknya ternyata bukan murni meninggal karena kecelakaan, tapi dibunuh! Sebuah bukti mengarah pada Zionathan, orang yang punya kuasa tinggi hingga mudah m...