Bab 86

78 2 0
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Yudi tengah bertengger di dalam sebuah rumah yang kumuh, di mana tempat tersebut dijadikan tempat untuknya bersama anak buahnya sembari bersantai sebelum melakukan rencana selanjutnya.

Yudi menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi berukuran panjang. Kursi tersebut berbahan kayu dan terlihat sekali dia menikmatinya. Jari telunjuk sebelah kanan bergoyang, seakan menganggap semua hasilnya tidak sia-sia.

Beberapa menit lalu, Yudi mendapatkan informasi dari anak buahnya yang bertugas memantau perkembangan kasusnya. Laporan Lexi terhadapnya ditangguhkan. Itu artinya, pihak kepolisian sudah lepas tangan mengusut tuntas kasus percobaan pembunuhan yang dialami Firman.

Yudi membuat gerakan tidak biasa yakni menjentikkan jarinya beberapa kali. "Hmm. Akankah setelah ini, rencanaku untuk melenyapkan Firman akan berjalan lancar?"

Senyuman miring seorang Yudi Prasetya pun tercetak jelas di wajahnya. Jangan lupa, Yudi menganggap itu adalah senyum kemenangan yang dia miliki. Yudi seakan tidak habis menaruh ambisi agar Firman mati di tangannya. Berharap saja tidak ada satu orang pun yang akan menghalangi rencananya.

Pintu ruangan berderit tepat di posisi belakang. Sepatu pantofel warna hitam mengetuk dengan keras, memijak lantai marmer yang sedikit kotor itu.

Pria berambut cepak dengan julukan Matahari langsung menegakkan tubuhnya sambil mengambil posisi bersiap. Kedua tangannya bertaut ke depan, menutupi bagian bawah tubuh.

"Jadi kamu sudah transfer ke pemilik rumah itu? Sudah deal dengan harga yang dia tawarkan?" tanya Yudi memastikan, tanpa menoleh ke arah jam tiga tempatnya duduk.

"Sudah. Dan untungnya Pak Gunawan bekerja sama dengan baik, rumah miliknya dihancurkan. Rumah kosong yang digunakan untuk menyiksa Firman setahun lalu."

"Rumah milik beliau memang tidak pernah ditempati sih. Rencananya beliau juga mau jual rumah itu, tapi aku ingin gunakan sebagai markas. Baguslah Pak Gunawan mau terima rumahnya hancur. Kita kasih dua kali lipat dari biaya yang dia tawarkan."

Yudi terlihat sangat sumringah. Lagi dan lagi dia merasa lega karena rencananya sungguh berjalan lancar. Mengingat ini di malam hari, rasanya Yudi teringin mentraktir semua anak buahnya dengan makan-makan di sebuah restoran.

"Emm, bos. Apa besok bos ada jadwal? Bukannya bos sedang mengembangkan suatu game?" Matahari tahu betul akan kegiatan Yudi. Kini Yudi masih berstatus sebagai pengembang di sebuah perusahaan IT dan kini perusahaan tersebut sedang mengadakan projek membuat game yang masih dirahasiakan dari publik.

"Iya. Besok aku mau balik ke Jakarta Selatan untuk masuk kantor. Selagi besok ada presentasi." Yudi berdiri dari kursi tempatnya duduk, lalu mengeluarkan sebungkus rokok dari kantong celana dan menepuk mulut kotak rokoknya ke bawah agar sebatang bisa menjangkaunya keluar.

"Jujur kita masih ada rencana selanjutnya," imbuh Yudi seraya memantik korek api ke rokok miliknya. Setelah rokok itu terbakar dan menimbulkan asap yang berhembus ke mulut, Yudi melanjutkan ucapannya. "Hanya saja, kita tidak boleh membuat gaduh situasi. Terlebih si Firman. Kamu bilang Firman kayak orang lain, karena efek koma itu, kan?"

Matahari langsung menjawab spontan. "I–Iya. Saya juga dengar sendiri dari penjelasan dokter yang menangani Firman."

Yudi melenggut. "Berarti setelah aku menyelesaikan urusan pekerjaan, kita ke rencana berikutnya. Kamu tahulah, rencananya apa."

Mengingat Yudi sebelumnya membuat rencana secara terstruktur, membuat Matahari memahami dengan cepat. "Iya, iya. Saya paham."

Yudi tidak mengatakannya secara gamblang, pun sebelumnya dia telah bocorkan kepada semua anak buahnya. Jadi seharusnya Matahari sudah tahu rencana apa itu.

Seusai dengan menyingkirkan barang bukti, Yudi langsung keluar dari markasnya dan meminta Matahari buat mengikutinya. Begitu menjauh dari rumah, Yudi langsung menginstruksikan sesuatu.

"Panggil beberapa anak buah yang bisa kita ajak makan. Tapi kalian jangan gunakan setelan hitam. Pakaian casual. Itu penting." Yudi mengacungkan telunjuknya agar Matahari paham dengan maksudnya.

"Baik. Siap, bos."

***

Malam hari di jam 11, Firman tengah terlelap di kasurnya. Seisi kamar menjadi gelap dan lampu di atas nakasnya pun menjadi penerang. Firman mendadak bergerak, kepalanya mengarah dari kiri ke kanan. Kedua matanya menyipit, tanda sedang ketakutan.

"A–Apa lagi yang kamu mau dari aku? Buat apa lagi kamu ingin mengacauku? Buat apa?" Firman bersuara meski sedang terpejam. Dia tengah bermimpi, lebih tepatnya mimpi buruk.

Firman selanjutnya terengah-engah, kini keningnya mulai memunculkan keringat. Bagaimanapun, mimpi yang dia rasakan sungguh menyakitkan.

"Kamu mau ngapain dengan botol kaca itu?" Firman berucap parau. Masih memejamkan mata, dan situasi genting terjadi. Firman merasakan tubuhnya bergetar hebat, diikuti suaranya yang tak terkontrol saat bicara.

"Jangan dilempar ke tubuhku! Jangan!!!!" Setelah itu, Firman terbangun dan matanya terbuka sepenuhnya. Firman menegakkan tubuhnya, dia seperti dikejar oleh seseorang. Napasnya jadi memendek.

Begitu yang terjadi setelahnya, Firman pun bergumam. "Kenapa ... lelaki itu ... seolah punya ambisi kuat untuk menghabisiku? Kenapa?"

Firman menelungkupkan wajah dengan kedua tangan. Rasanya masa lalu itu benar-benar belum tercerahkan sepenuhnya. Termasuk motif Mira merundung dirinya saat kelas 11. Pun belum ada jawaban sama sekali.

Aku nggak mau ... aku dilangkahi olehmu. Jika kamu berani, ingat. Aku bisa saja meretakkanmu suatu saat.

"Aaarrrghh!!! Sakit!!!!" Satu tangan sebelah kanannya terangkat, meremas dadanya kuat-kuat. Firman merasa seperti ditindih oleh sesuatu. Yang membuatnya jadi kesulitan bernapas.

Begitu kamu retak, maka aku menang. Kamu jatuh, maka aku ada di atas. Kamu lenyap, maka aku bahagia.

Suara tawa seorang lelaki yang masuk dalam mimpinya barusan mulai menggerogoti bagian pendengaran. Seirama dengan detak jantungnya yang berpacu cepat, membuatnya merasakan sakit yang teramat sangat.

"Sakit, to–tolong! Jangan. Ja–jangan!" Kedua mata Firman meringis kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Rasa sakit masih dirasakannya. Di dalam seperti ditusuk oleh jarum besar beberapa kali, menghujam bertubi-tubi.

Selanjutnya yang dirasakan Firman, dia ingin isi perutnya dikeluarkan. Berulang kali mencoba untuk muntah, namun ditahannya agar tidak mengotori selimut tempat tidurnya.

Beruntung, ada ember kecil yang berada di hadapan nakasnya. Segera Firman berjingkat dengan tumpuan pahanya lalu meraih ember tersebut yang untungnya tidak jauh dari jangkauannya.

Langsung saja Firman muntah di situ. Beberapa kali dia mencoba, namun berujung dengan batuk-batuk karena pernapasannya terhalangi.

Selesai dengan urusan muntahnya, Firman menaruh ember tersebut ke tempat semula. Barulah dia bersandar di dipan tempat tidurnya.

"Apa perlu ... aku tanya ke ayah soal masa laluku?" tanya Firman mengusulkan. Dia yakin ayahnya banyak tahu. Di samping ingatan yang belum pulih, mungkin dengan bertanya banyak pada sang ayah bisa membuat dirinya sedikit paham akan situasi, baik di masa lalu maupun di masa sekarang.

"Cuma ayah ke mana? Di saat seperti ini, aku butuh ayah. Ayah mana?" Firman seperti seorang anak kecil yang mencari-cari keberadaan orang tuanya. Terbukti dengan menggerakkan kedua ibu jarinya.

"Aku butuh ayah. Aku ingin semuanya jelas tentang masa laluku," ucap Firman merasa cemas.


***

My Temporary TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang