Satu

3 0 0
                                    

"Minggir! Minggir, sialan!"

Tet... Tet... Tet...

"Woi, awas! Awas! Air panas minggir!"

Warga sekitar dan gerombolan anak sekolah yang baru saja pulang terpaksa berpencar saat rombongan motor besar membelah jalan sesuka hati mereka. Ada yang berjaket, berkaos biasa dengan celana abu-abu khas anak SMA, dan seragam lengkap putih abu-abu dengan dasi yang di kalungkan begitu saja.

Deru mesin motor seolah memekakkan telinga dalam sekejap, mengundang amarah dan cacian dari warga serta anak-anak sekolah yang merasa terganggu dengan ulah pemotor tersebut.

"Gak sopan bener!" Hardik seorang bapak sambil memungut kembali dagangan kerupuknya yang tercecer. Untung saja makanan kering itu berada dalam bungkus-bungkus kecil sehingga masih bisa dijual.

Warga lainnya juga ikut mencaci, tak lama kemudian langsung kembali pada aktivitas masing-masing sembari membicarakan ulah nakal para pemotor barusan.

Melihat si bapak pedagang kerupuk kesusahan saat memungut kembali dagangannya, seorang gadis dengan dress warna krim langsung turun dari sepeda kumbangnya. Ia berlutut membantu si Bapak memunguti kerupuk yang terlihat lezat.

"Eh, dek," Si Bapak terkesima dengan sikap anak muda di depannya. Saat gadis itu mengangkat wajah dan tersenyum, semburan wajah cantik nan manis dengan lesung pipi terpampang nyata.

"Beres, Pak!" Gadis itu menepuk-nepuk kedua tangannya, menandakan bantuannya sudah selesai. Ia nampak puas melihat dagangan si Bapak sudah kembali ke dalam keranjang pikul.

Si Bapak tersenyum senang. "Terima kasih banyak ya, dek! Sudah repot mau kotor-kotor bantuin Bapak!"

Gadis itu mengangguk ramah. Bibir mungilnya kembali tersenyum. "Sama-sama Pak. Bapak gak luka kan, gara-gara anak-anak nakal tadi?"

Gelengan kepala si Bapak yang masih terkesima dengan  kecantikan gadis itu cukup menjadi jawaban.

"Ya sudah Pak, saya pamit dulu yaa. Hati-hati Pak, semoga dagangannya laris ya!"

"Eh tunggu dulu dek, bentar." Si Bapak mengambil satu kantong plastik dan mengisinya dengan beberapa bungkus kerupuk. "Ini buat adek karena udah bantuin bapak!"

Gadis itu menatap ragu. Niatnya tulus dan ikhlas membantu bapak tersebut.

"Ah, bapak bisa aja! Itu sudah kewajiban saya pak. Nanti malah rugi kalau kerupuknya dikasih gratis ke saya."

"Aduh si adek, ini bapak ikhlas juga. Jaman sekarang sudah jarang anak muda kayak adek yang mau bantu orang kesusahan. Tuh buktinya," Si Bapak melihat sekitar. "Dari banyak orang disini cuma si adek yang mau bantu Bapak. Ayo diambil, sok!"

Akhirnya gadis itu mau menerima kerupuk pemberian si Bapak. Sebelum pulang, tak lupa ia menyebutkan nama saat ditanya oleh pedagang kerupuk tersebut.

"Aneisha." Sebut gadis itu, sekali lagi dengan senyuman.

. ....... .

Aneisha pulang dengan sepeda kumbangnya. Tiupan angin meniup halus rambut panjang yang terlihat hitam, lengkap dengan jepit rambut warna biru muda. Sambil bersenandung, gadis berusia enam belas tahun itu terus mengayuh sepeda menuju jalan pulang. Sementara itu, plastik hitam berisi kerupuk pemberian pedagang yang ia bantu terletak rapi di keranjang sepeda.

Sedang asyik menikmati suasana pinggir kota yang sejuk, suara klakson seperti sebelumnya kembali mengejutkan. Karena panik, Aneisha hilang keseimbangan sehingga sepeda yang dikemudikan terjatuh ke rerumputan, disusul dengan ban motor yang melaju di atas becekan jalan sehingga air kubangan di dalamnya terciprat ke tubuh Aneisha.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kepada AksaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang