Ann mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya untuk menghentikan ciuman itu. Dengan lembut namun tegas, dia mendorong dada Max, mencoba memberi jarak antara mereka. Nafasnya tersengal-sengal, dan dia merasakan pipinya memerah.
"Max... kau harus bertemu Dokter Ryu sekarang," Ann berkata dengan suara serak, matanya berusaha menghindari tatapan Max yang masih penuh gairah.
Max menghela napas dalam-dalam, tampak enggan untuk melepaskan Ann. Namun, dia akhirnya mengendurkan pegangannya dan membiarkan Ann mundur beberapa langkah.
"Baiklah, tapi ini belum selesai, Ann," katanya dengan nada yang masih penuh keinginan.
Ann mengangguk pelan, berusaha mengendalikan dirinya. "Aku akan menyiapkan pakaian kering untukmu," katanya sambil berbalik, mencoba menutupi kegugupannya.
"Dan aku akan meminta Lyla mencarikan pakaian kering untukku," Ann melanjutkan tanpa menoleh pada Max.
Dia berjalan keluar dari kamar mandi, merasakan udara dingin menyelimuti tubuhnya yang basah.
Pikirannya berputar-putar, antara marah, malu, dan campuran perasaan lainnya yang sulit dijelaskan. Ann tahu dia harus tetap tenang dan fokus, meski hatinya masih berdebar kencang.
Ann masuk ke kamar dan membuka lemari, mencari pakaian yang bisa dipakai Max.
Sementara itu, dia juga harus mencari pakaian kering untuk dirinya sendiri. Perempuan itu memencet sebuah bel khusus di kamar Max yang dapat digunakannya untuk memanggil siapapun untuk melayaninya. Karena Ann tidak mungkin keluar dari kamar ini dengan keadaan basah kuyup.
"Lyla.. tolong bawakan pakaian kering untukku. A-aku membawa beberapa potong gaun, ada di dalam tasku," ucap Ann pada bel khusus itu.
Tak lebih dari lima menit, Lyla sudah memberikan pakaian yang Ann maksud. Meskipun tatapannya terlihat bingung dan curiga, namun wanita paruh baya itu tidak bertanya lebih lanjut. Seolah sudah menjadi rahasia umum, semua orang yang bekerja di mansion ini sudah memaklumi bagaimana 'hubungan' antara Ann dan Max.
"Terimakasih, Lyla." Ann mengucapkan itu sebelum Lyla kembali meninggalkan ruangan Max.
Tangan-tangannya gemetar saat mengambil sepasang celana dan kemeja bersih untuk Max, serta gaun sederhana untuk dirinya sendiri.
Dengan cepat, Ann berganti pakaian, merasa sedikit lega saat kain kering menyentuh kulitnya. Dia menata rambutnya yang basah dengan cepat, berusaha terlihat setenang mungkin meskipun pikirannya masih kacau.
Ketika Ann kembali ke kamar mandi, Max sudah berdiri di depan cermin, setengah telanjang dan menatap bayangannya. Tatapannya teralihkan saat Ann masuk, dan dia tersenyum tipis. "Cepat sekali," komentarnya, nada suaranya kembali tenang.
"Berpakaianlah, Max. Aku sudah menyiapkan pakaian untukmu," kata Ann, mencoba menghindari kontak mata yang terlalu lama.
"Aku akan keluar untuk menyiapkan sarapan untukmu. Kau bisa ke ruang makan ketika sudah siap." Ann berkata sambil mencoba mengatur nafasnya.
"Terima kasih, Ann."
Perempuan itu berbalik, hendak meninggalkan kamar mandi, namun langkahnya dihentikan oleh suara Max.
Ann berkata sambil mencoba mengatur nafasnya. Dia berbalik, hendak meninggalkan kamar mandi, namun langkahnya dihentikan oleh suara Max.
“Ann."
Ann berhenti, tapi tidak berbalik. Dia hanya mendengar langkah kaki Max mendekat. Tangannya yang basah menyentuh bahu Ann, memaksanya untuk berbalik.
“Iya? Kau butuh sesuatu?"
Ann mendongak, menatap mata Max yang kini hanya berjarak beberapa inci darinya.
"Aku tidak dicium dulu sebelum kau keluar?"
Ann merasakan seluruh darahnya kembali naik ke wajahnya yang kini terasa memanas bahkan saat dia berusaha menjauh dari Max. Ia tidak bisa menatap langsung ke arah pria itu, yang kini berdiri dengan senyum miring di wajahnya..
"Hentikan itu, Max." Ann berdecak samar.
Pria itu hanya terkekeh pelan. "Baiklah, baiklah. Aku akan ke ruang makan sebentar lagi."
Ann mengangguk dan segera melesat keluar dari kamar pribadi Max. Perempuan itu berniat ingin menyiapkan sarapan untuk Max seperti yang dikatakan namun rupanya Lyla sudah membereskannya lebih dulu.
Untuk itu, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Ann memilih untuk duduk di kursi bar ruang makan khusus asisten yang berada di paling belakang. Menyesap teh hijau kesukaannya yang baru saja Ann seduh sendiri beberapa detik yang lalu.
Ann menarik nafas dalam-dalam sembari menikmati panas minuman segar itu, sebelum akhirnya suara John menginterupsi.
"Aku pikir mansion ini cukup mewah untuk mencegah air hujan masuk ke dalam." Sindiran halus John diakhir kekehan berat khas pria paruh bayanya, begitu melihat rambut Ann yang masih basah.
Ann merasa semakin malu. "Itu..."
John mengangguk paham, dan memberikan sebuah alat pengering rambut untuk Ann.
"Sebaiknya kau memakai ini sebelum ikut bertemu Dokter Ryu."
"Ah, aku..." Ann menerima pengering rambut itu ragu-ragu, sebelum akhirnya menghela nafas dan tersenyum. "Aku bersyukur kau ada di sini bersamaku, Tuan John."
"Aku tahu pasti sulit bagimu untuk ikut andil mengendalikan Tuan Max. Namun... dia hanya bisa sedikit terkontrol ketika sedang bersamamu, Ann."
Jantung Ann berdegup kencang lagi. Tapi kemudian menggeleng.
"Sedikit, hanya sedikit, kan? Kau tahu itu. Max butuh Dokter, bukan aku."
"Ann.. aku pikir Tuan Max memang memiliki penyakit mental yang membuatnya tak terkendali. Namun, disisi paling lemahnya, dia hanya membutuhkanmu." Kalimat John begitu bersimpati dengan Max meskipun pria itu selalu membentak dan meremehkannya.
"Aku pikir... dia tulus mencintaimu. Hanya saja caranya yang salah, karena semuanya benar di mata Max."
Meski hatinya berat, Ann tahu ini adalah bagian dari tanggung jawabnya. Ia tidak bisa meninggalkan Max, tidak sekarang, tidak ketika dia tahu betapa hancurnya pria itu tanpa dirinya.
"Aku mengerti maksudmu, John..." Ann menarik nafas, lalu kembali menyesap tehnya.
"Ann, aku harus mengatakan ini. Aku butuh bantuanmu. Kau tahu sendiri kondisi Tuan Max makin tidak terkontrol akhir-akhir ini, Dokter Ryu mungkin akan semakin kewalahan. Terlebih.. dia mulai lalai dalam mengurus perusahaan mendiang Ayahnya hingga akhirnya sepupunya Archie yang mengambil alih sementara. Aku merasa... itu tidak akan baik untuk kedepannya." John menjelaskan cukup panjang, dia sangat peduli dengan Max apapun keadaannya. Bahkan mungkin sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri.
"Memangnya... aku bisa membantu apa? Aku.. juga hanya gadis biasa, asisten biasa, Tuan John."
"Begini, Ann... Kemarin, Dokter Ryu berbicara denganku...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Die Into You
Любовные романы"Aku sudah menjadi pria yang baik. Mengapa kau tidak membiarkanku menjadi priamu, Ann?" Max merengek putus asa. rate : mature © all pics from : pinterest FOLLOW SEBELUM MEMBACA, YA!!!