"Sorry ya, gara-gara ikut gue lo jadi harus jalan kaki gini."
Sangkara dan Chaya memutuskan jalan kaki menuju daerah yang agak ramai dengan harapan memudahkan mereka mendapat grab car. Siapapun yang mereka hubungi malam ini tidak ada satu pun yang fast respon.
"Gapapa, Kak. Kapan lagi cosplay jadi ODGJ." Jawab Chaya menambah beban Sangkara.
"Nyesal dunia melahirkan gue." Keluh Sangkara tidak jelas tapi Chaya tertawa melihat ekspresi menderitanya.
"Dih, malah ketawa bukannya mikir!" Cibir Sangkara. "Ini kalau gue hubungi Jake, pasti dia langsung gercep." Tambah Sangkara lagi, mematikan tawa Chaya.
Melihat Chaya diam, Sangkara bersuara kembali. "Lo berdua kenapa sih sebenarnya?"
Pertanyaan yang sedari awal ingin Sangkara tanyakan. Karena ia muak harus mengurusi Jake yang bersikap di luar nalar akhir-akhir ini.
"Ga ada apa-apa." Bukan Chaya kalau tidak rumit.
"Seluruh alam semesta juga tau ada apa-apa diantara kalian." Tuding Sangkara hiperbola. "Apa lo mau balikan sama Jay?"
Langkah Chaya sampai terhenti.
"Gue bukannya mau ikut campur ya, nanya gini. Karena gue satu kontrakan sama dua sigung nakal itu dan selain itu gue juga selalu jadi korban keputusan mereka. Jadi, intensi gue nanya kayak gini karena peduli sama diri gue sendiri." Jelas Sangkara sebelum Chaya bersikap defensif atau lebih parah lagi merajuk.
"Gue gak mau berurusan sama Jake lagi. Kalau Jay, gue ada alasan kenapa sering bareng dia akhir-akhir ini."
Dahi Sangkara terlipat, "Gue ga ngerti, bukannya Jay udah bikin lo trauma ya pas SMA, bahkan sampai sekarang lo ke psikiater?"
Perkataan Sangkara yang diucapkan begitu santai tanpa beban bak guntur petir di telinga Chaya dan membuatnya mematung sejenak.
"L-lo tau darimana?" Bahkan tangan Chaya mendadak tremor seketika.
"Jujur, gue udah tau semuanya. Jay selalu ngajak gue kalau mau mabuk sampai pingsan. Di situ dia ngeracau tentang apa yang udah dia lakuin ke lo. Dari sini, gue ga mau mempermasalahkan hal itu, tapi intensi gue berharap lo bisa berkomunikasi secara terbuka dengan fakta gue tau rahasia lo, mau lo apa dan gimana sama teman-teman gue, gue ga sanggup ngeliat mereka terluka."
Sangkara tau seharusnya ia tidak perlu sejauh ini. Tapi, melihat Chaya yang memilih silent treatment sementara banyak pihak yang terluka, terutama orang-orang yang penting baginya, Sangkara tidak bisa diam saja.
"Siapa lagi yang tau hal ini selain lo?" Interogasi Chaya dengan jantung berdetak kencang.
"Cuma gue. Jay ga pernah lose control kalau mabok kecuali sama orang yang dia percaya."
Chaya meragukan perkataan Sangkara. "Please, lo simpan rahasia ini sampai mati ya, Kak? Kalau sampai banyak yang tau gue lebih baik bunuh diri."
Sangkara menelan ludah susah payah. Tindakannya men-trigger Chaya.
"Kalau lo merasa terganggu dengan kehadiran gue di tengah teman-teman lo, gue bersedia menghilang. Katakan gue harus apa kak?"
Reaksi Chaya di luar prediksi Sangkara.
Melihat Chaya yang terlihat biasa saja bersama Jay kini, Sangkara pikir mungkin Chaya telah berdamai. Sangkara sama sekali tidak berniat membuat Chaya ketakutan seperti saat ini.
"Hei, Chaya, tenang!" Sangkara memegang bahu Chaya. "Gue gak bermaksud pengen nyakitin lo!"
"Gue sama Jay ga ada hubungan apa-apa, Kak. Kalau kami sering terlihat bersama akhir-akhir ini karena Jay memohon sama gue buat melakukan pengobatan bersama atas trauma masing-masing." Jelas Chaya kalut, seakan-akan Sangkara menodongkan pistol di pelipisnya.
Sangkara memeluk Chaya untuk menenangkannya. "Maafin gue, Cha. Maafin gue."
Sangkara sungguh menyesal mengungkit topik itu saat ini.
"Gue bakal jauhin Jay, Kak. Gue bakal jauhin semuanya..."
"Nggak. Nggak. Maafin gue." Sangkara kalut, berkali-kali ia cium puncak kepala Chaya untuk menenangkannya.
Malam itu, Sangkara mengerti kenapa Jake mati-matian ingin melindungi Chaya.
Ketakutan di mata polosnya yang bak malaikat turun ke bumi membuat hati Sangkara sakit.
Di sisi lain, jika menempatkan diri di posisi Jay di masa lalu, Sangkara juga tak bisa menyalahkan Jay sepenuhnya.
Kotak pandora yang selama ini tak berani Sangkara buka, kebenaran yang tak berani ia pikirkan, sebuah ingin yang selalu Sangkara bunuh tiap tumbuh, pada akhirnya berhasil menampakkan diri.
Sejujurnya, dari semenjak OSPEK bukan hanya Jake yang memperhatikan Chaya.
Sangkara juga, tapi ia lebih memilih menepisnya, karena berada di posisinya, Sangkara telah menyerah terlebih dahulu.
Tapi, malam ini Sangkara menyadari satu hal.
Apapun itu yang Sangkara rasakan, tidak pernah mati walau berkali-kali ia bunuh dan tepis.
***
"Kabur aja!" Ujar Sangkara saat pertama kali menegur Chaya saat OSPEK.
Pasalnya Chaya langsung dikerjai Hira selaku Komdis disuruh pisah barisan karena dituduh tidak baca do'a pagi. Sebenarnya semua itu hanya bagian dari gimik.
Chaya dan beberapa cewek lain dikumpulkan dekat pos satpam.
Chaya menatap Sangkara takut-takut menimbang apakah cowok itu serius atau perkataannya ngetes doang.
Sangkara peka terhadap wajah bimbang Chaya. "Gue yang tanggung jawab, muka lo udah pucat banget, Dek." Ujarnya tulus.
Chaya masih tertegun, bahkan menggigit bibir.
"Ck." Akhirnya Sangkara tarik tangan Chaya mengajaknya menyingkir dari pos satpam diiringi godaan teman-temannya yang lain.
Jake yang melihat kejadian itu segera menghampiri mereka yang berteduh di bawah pohon sekitar taman rektorat. Saat itu Jake bertugas sebagai protokoler dan Sangkara KSR.
"Baru masuk gerbang kampus udah ada yang mau pingsan aja, Ra?" Tegur Jake sembari mengamati Chaya secara terang-terangan.
Sebenarnya Jake dari hari pertama OSPEK sudah mengawasi Chaya karena melihatnya melompat lucu gara-gara ada mamang-mamang jual gulali.
"Lebay, cuma pucat doang kok. Gue menyelamatkan dia dari keisengan Hira aja, hehe.."
Tentu saja alasan Sangkara tidak sesederhana itu. Bukan Jake saja yang telah memperhatikan Chaya sedari awal, Sangkara juga.
Sangkara berinteraksi dengan Chaya pertama kali saat cewek itu menjatuhkan pin namanya.
Entah kenapa Sangkara malah terus mengawasi Chaya dan frustasi dalam diam melihat betapa cerobohnya Chaya.
Bagimana alis tebal Sangkara bertaut menyaksikan tali sepatu Chaya yang tidak diikat dengan benar.
Bagaimana Sangkara tidak tega melihat Chaya kepanasan dan kedua pipinya memerah terkena matahari.
Bagaimana tubuh mungil Chaya terdorong ke sana kemari di tengah massa.
Menyaksikan semua itu, Sangkara hanya bisa mengepalkan tangan dalam diam.
Hanya itu yang bisa ia lakukan.
Alasan pertama, Ajeng mengawasinya dengan mata elang dan Sangkara tidak ingin Ajeng membuat drama.
Alasan kedua, Sangkara melihat tatapan yang tidak pernah ia saksikan dari sorot mata Jake ketika melihat Chaya.
Dan Jake tidak menyembunyikan apapun, hanya mengikuti kata hatinya. Dengan sengaja terus melibatkan diri didekat Chaya, seolah telah menandai Chaya.
Sangkara bisa apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
ENIGMA : Tanda Tanya (?) |wintke
Short StoryTentang mengubah tanda tanya menjadi tanda titik.