04. Bumi dan Lukanya

41 9 0
                                    

"Apakah kita terlalu lenggang pada bumi? Sehingga bumi terpaksa menyembunyikan semua lukanya"

🎶

Cahaya lampu yang terang tak mengusik anak yang kini terbaring dibawahnya, dinginnya ubin kamar bahkan tak membuat anak itu bergerak dari tempatnya.

Setiap detik jam itu berbunyi, suaranya menciptakan melodi indah tersendiri, saling bersautan dengan rinai ayar langit yang terdengar dari luar jendela.

Tak disangka derasnya ayar langit dan kuatnya serayu ternyata mampu membuka jendela yang sebelumnya tertutup itu.

Tetesan lembut ayar langit membasahi wajahnya, perlahan tapi pasti anak itu kembali membuka matanya, mengembalikan kesadarannya yang sempat direnggut paksa akibat pusing yang mendera.

Bhumi memegangi kepalanya, berusaha untuk bangkit, agar segera bisa menutup jendela tak ingin kamarnya menjadi basah.

Setelah berhasil ia kembali terduduk, membiarkan tubuhnya bersandar pada dinding di bawah jendela, sembari memejamkan matanya.

Jejak darah yang mulai mengering masih terlihat di bawah hidungnya, meskipun darah tak lagi mengalir disana, berapa lama ia pingsan?

Bhumi segera membuka matanya, rasa pusing hebat tak lagi menderanya, anak itu segera menoleh pada jam dinding yang tergantung di tepi kamarnya.

Jarum pendek menunjukkan angka 10, sementara jarum panjang menunjukkan angka 6.

Bhumi menghela nafas berat, sudah lebih dari 2 jam anak itu terbaring di lantai, meskipun sakit di kepalanya belum hilang sepenuhnya ia masih harus mengerjakan tugas dari gurunya, ia tak ingin dimarahi besok, atau lebih buruk lagi sekolah bisa saja memanggil orang tuanya, dia benar-benar tak ingin menyusahkan bunda ataupun ayahnya.

Bhumi kembali bangkit dari duduknya, memaksa kakinya agar berjalan menuju kamar mandi, ia ingin membasuh wajahnya terlebih dahulu, sebelum mulai mengerjakan tugasnya.

Syukurlah ia berhasil sampai disana, meski terkadang harus berpegangan pada dinding, karena kakinya yang terasa lemas.

Didepan wastafel anak itu menatap bayangan pada cermin, terlihat menyedihkan baginya, ia segera membasuh wajahnya membersihkan jejak darah yang masih terlihat jelas disana.

Setelahnya Bhumi segera kembali menuju kamarnya, terduduk di depan meja belajar membuka setiap lembar buku yang berisi tugas yang harus dia kerjakan.

Anak itu mulai menorehkan pensilnya, menulis kata demi kata pada buku pelajarannya, berusaha melupakan semua yang terjadi padanya beberapa jam yang lalu, seolah hal itu tak pernah terjadi.

🎶

Mentari akhirnya muncul setelah meninggalkan buwana bersama bulan dan bintang, setelah bersembunyi untuk waktu yang lama, hangatnya sinar mentari membawa perasaan yang menyenangkan bagi Yafi dan keempat anak lainnya.

Mereka berlima berjalan kaki menuju sekolah karena lokasinya yang memang tidak terlalu jauh dari rumah mereka, terkadang mereka juga akan menggunakan sepeda untuk sampai ke sekolah, tapi kali ini mereka lebih memilih untuk berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan mereka membahas begitu banyak hal, canda dan tawa mereka tendengar begitu jelas, namun tidak bagi Bhumi, entah kenapa anak itu hanya diam saja sedari tadi.

"Bhumi kamu sakit?" Tanya Yafi yang merasa cemas pada sikap adiknya yang aneh sejak kemarin.

"Enggak kok aku nggak papa"

- --- -- --- .-. .-. --- .-- (Tomorrow) || TXTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang