Matahari terbit dari timur, mengintip dengan malu melalui celah gorden yang tidak rapat, cahayanya cukup menyilaukan mata seorang gadis yang masih terlelap. Ia mengintip sedikit namun pikiran impulsifnya membuat ia menarik ke selimut hingga ke seluruh wajah untuk menutup matanya dari cahaya mentari dari pada bangun untuk bersiap pergi ke sekolah. Setengah jam kemudian, saat cahaya matahari benar-benar mulai terasa terik hingga silaunya kini bukan hanya menyakiti mata namun juga mulai terasa memberikan rasa gerah, gadis itu tetap tidak menyerah dan tetap pada posisinya sekalipun kini tidurnya tidak lagi nyenyak.
"Non, udah jam 6 lebih." Pintu kamarnya diketuk bersamaan dengan suara asisten rumah tangganya yang terus memanggil dengan sabar. Gadis itu akhirnya menyerah dan ia mengerang sebentar sambil melakukan beberapa peregangan untuk sekedar mengumpulkan nyawa yang masih 1/4 masuk ke dalam jiwanya.
"Iya Bi." Sambil menguap gadis itu menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan mata yang masih setengah tertutup itu seketika terbuka lebar ketika kaki telanjangnya menginjak langsung ke lantai yang terasa seperti membeku.
"Selamat pagi Non." Asisten rumah tangganya yang sudah paruh baya itu menyapa dengan hangat pada gadis yang baru keluar dari kamarnya itu, sebuah senyuman hangat dari Bi Inah yang bukan hanya sebagai formalitas namun juga ketulusan hati seorang Ibu.
Bi Inah adalah asisten rumah tangga mereka yang sudah bekerja lebih dari 21 tahun di rumah ini. Usia gadis itu saja belum genap menginjak 18 tahun dan Bi Inah sudah berada di saja bertahun-tahun sebelum ia lahir, dan itulah yang membuat Bi Inah bukan hanya sekedar asisten rumah tangga, namun juga bagian dari rumah ini.
"Pagi Bi. Sarapan apa hari ini?"
"Mau nasi goreng atau roti selai?" Tanya Bi Inah dengan nada yang begitu lembut.
"Nasi goreng boleh deh." Bi Inah mengangguk dengan sopan.
"Yasudah nanti Bi Inah buatkan." Gadis itu hanya mengangguk singkat lantas kembali ke dalam kamarnya untuk melakukan rutinitas paginya yaitu mandi. Setelah selesai mandi ia keluar dan melihat seragamnya sudah tersedia di atas ranjang yang juga sudah terlipat rapih. Setelah memakai seragam gadis itu langsung turun dan menemukan sepiring nasi goreng sudah tersedia di atas meja makan, lengkap dengan segelas susu dan kotak bekal yang disiapkan oleh Bi Inah.
"Wiiii nasi gorengnya enak nih." Gadis itu duduk dan dengan tidak sabar memakan nasi goreng yang masih panas, dan beberapa kali membuat lidahnya seperti terbakar.
"Pelan-pelan Non, dikejar apa sih?"
"Dikejar Zahir lah, apa lagi." Setelah menghabiskan makanannya, gadis itu langsung menyampirkan ransel dan berpamitan pada Bi Inah, lantas bergegas pergi ke luar gerbang di mana dari kejauhan ia bisa mendengar suara knalpot motor yang cukup berisik yang sangat ia kenal. Tak lama dari ujung persimpangan ia melihat sebuah motor tua yang dikendarai oleh seorang laki-laki yang sebaya dengannya. Memang mungkin terlihat agak aneh melihat motor tua itu berkendara setiap pagi masuk ke dalam komplek perumahan yang cukup mewah, namun keduanya tidak memiliki masalah dengan hal tersebut.
"Selamat pagi Nona Aneth." Pria yang tak lain adalah Zahir itu melepas helm tuanya dan menyapa Aneth sang kekasih hati yang sudah menunggu di depan gerbang.
"Pagi Zahir."
"Abis sarapan ya? Berantakan banget sih makannnya." Zahir mengusap ujung bibir Aneth yang terdapat nasi tersisa.
"Apaan sih Zahir." Aneth menepis jemari itu dengan wajah tersipu.
"Udah 2 tahun pacaran masih aja salting kayak gitu." Zahir memang paling suka membuat Aneth tersipu, karena itu adalah bagian termanis dari seorang Anethasia Givardi.
"Zahir diem ya!"
"Iya-iya, ayo naik, lanjutin saltingnya nanti aja di Sekolah."
"Ihhhh." Aneth memukul pelan bahu Zahir, kemudian dengan cekatan pria itu menurunkan foot step seperti biasanya agar Aneth bisa naik dengan mudah.
"Nih pake helm nya."
"Aku kira kamu gak inget, padahal enakan gak pake helm tau! Lagian deket juga kan sekolah kita gak sampe setengah jam."
"Aku tuh mau mastiin kamu baik-baik aja, bahaya itu gak ngeliat jauh atau deket sayangku. Dipake aja ya?" Aneth paling tidak bisa di minta secara lemah lembut dan penuh kasih sayang seperti itu, karena dengan cara itu Aneth jadi tidak bisa menolak.
"Yaudah." Aneth pura-pura mengurucutkan bibirnya sambil memakai helm tersebut, padahal di dalam perutnya sudah beterbangan ribuan kupu-kupu.
"Oh iya. Aku baru gajian hari ini, nanti pulang Sekolah kita jalan yuk ke alun-alun kota."
"Emang kamu gak ngajar hari ini."
"Enggak, murid aku bilang hari ini keluarganya ada kondangan."
"Kok kayak seenaknya banget sih." Aneth protes tidak terima, sekalipun ini bukan pekerjaannya, namun melihat kekasihnya dipermainkan dan dianggap tidak penting merupakan sesuatu yang menyinggung.
"Namanya juga guru private, kalau muridnya bilang hari ini gak bisa, ya aku bisa apa?"
"Lain kali kamu harus kasih klasifikasi alesan yang lebih urgent dong kalau mau izin, biar gak seenaknya batalin jadwal."
"Aneth ku sayang ... mereka mau nerima dan gaji aku sebagai guru private buat anaknya aja udah syukur padahal background pendidikan aku cuma siswa SMA. Jadi aku ya gak bisa menuntut banyak. Untuk sementara, kalau posisi aku belum kuat aku cuma bisa ngikutin kelompok kapital, dan belum bisa jadi orang yang idealis, tapi suatu saat nanti, kalau aku udah jadi orang hebat yang punya kedudukan, baru aku bisa jadi orang yang tegas dan idealis."
"Aku tuh kesel! Kenapa sih orang-orang suka nyepelin kamu, padahalkan kamu pinter dan punya banyak potensi." Zahir hanya tertawa renyah mendengar rengekan Aneth.
"Udah ya marah-marahnya, nanti cepet tua." Ucap Zahir sambil membelokan motornya ke dalam parkiran. "Eh tapi gak apa-apa sih, aku mau kok menua bareng kamu." Zahir kembali tertawa melihat rona merah di kedua pipi Aneth.
"Zahir bisa diem gak?"
"Enggak, apapun tentang kamu aku lakuin dan gak bakalan diem aja." Aneth mencubit pinggang pria itu dengan gemas. "Eh iya ampun-ampun." Zahir memohon dan Aneth melepaskan cubitannya. "Sini aku bantuin lepas helm nya." Dengan hati-hati Zahir menarik helm dari kepala Aneth dan berusaha agar tidak ada sehelai rambut pun yang menyangkut diantara jemarinya.
Keduanya kemudian berjalan beriringan menuju kelas. Beberapa pasang mata masih menatap sinis ke arah mereka. Sejak mereka memualai hubungan ini, memang banyak sekali mulut penggosip yang tidak berhenti berasumsi mengenai hubungan mereka. Kemudian orang-orang mulai mempertanyakan alasan Aneth menjalin hubungan dengan Zahir karena Zahir adalah salah satu pria berprestasi dengan nilai akademik yang selalu gemilang sehingga ia mempergunakan Zahir untuk kepentingan akademiknya yang tidak segemilang Zahir. Atau rumor pihak Zahir yang pernah dikabarkan hanya menjalin hubungan dengan Aneth karena Aneth berasal dari keluarga kaya dan terhormat yang memiliki banyak relasi kelas atas, sehingga Zahir yang memang berasal dari keluarga yang tidak kaya, dituduh mempergunakan Aneth untuk kepentingan materi dan relasi. Namun semua rumor itu berhasil mereka patahkan, terbukti dengan Zahir yang terlihat selalu berusaha mengerjakan apapun yang memberikannya penghasilan sampingan dan Aneth yang memang pada dasarnya tidak mempergunakan Zahir dan dibuktikan dengan nilainya yang biasa-biasa saja dan tidak pernah pula terlihat mencontek Zahir ketika ujian.
Keduanya tampak serasi, kecuali mata-mata yang selalu memandang curiga pada keduanya. Sepertinya semua manusia selalu memiliki rasa dengki yang tak terobati, namun Aneth maupun Zahir, selalu memilih untuk tidak peduli. Biarlah mereka yang selalu membicarakan keduanya di belakang tetap berada pada tempatnya. Dibelakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dirimu yang Ada Namun Hilang
Teen Fictionbagaimana jika ada satu titik di hidup ini di mana kita tidak memiliki sebuah pilihan? dan pilihan itu malah menjerumuskan kita ke dalam kubangan tak berdasar