Satu

26 2 0
                                    


Cashie Aurelia Maurey's Vibes

Di bawah langit Surabaya yang mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga keemasan, Cashie Aurelia Maurey menatap jam dinding di ruang kerjanya yang terasa semakin sempit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di bawah langit Surabaya yang mulai berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga keemasan, Cashie Aurelia Maurey menatap jam dinding di ruang kerjanya yang terasa semakin sempit. 

Hanya setengah jam lagi sebelum dia bisa mengemasi barang-barangnya dan melangkah keluar dari kantor konsultan tempatnya bekerja sebagai asisten. Sebagai seorang budak korporat perempuan, hari-hari Cashie selalu penuh dengan laporan, rapat, dan tenggat waktu yang menyesakkan.

Cashie menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya sejenak pada kursi ergonomis yang terasa lebih seperti sebuah singgasana duri. Ia melirik ke meja kerjanya yang penuh dengan berkas-berkas dan laptop yang masih menyala, menampilkan deretan email yang belum terbaca. Suara keyboard dan telepon yang terus-menerus berdering memenuhi ruangan, menjadi latar belakang keseharian yang sudah terlalu familiar baginya.

"Ugh, akhirnya kelar juga ini proposal," keluh Cashie sambil menghempaskan tubuhnya ke kursi.

Lolly, rekan sejawat Cashie, memiliki meja tepat di samping mejanya dan menoleh, menatap Cashie dengan mata lelah namun penuh empati. "Gila ya, kita kayak dikejar-kejar terus sama pekerjaan."

Cashie mengangguk sambil merapikan dokumen di mejanya. "Iya, rasanya selalu kayak ada aja yang harus dikerjain. Kadang gue mikir, kapan terakhir kali kita benar-benar merasa santai?"

Lolly tersenyum tipis. "Mungkin udah lama sekali, sampe kita lupa rasanya."Cashie menghela napas panjang, lalu berkata, "Hidup kalau gak susah ya susah amat." Lolly menyemburkan tawa mendengar gerutuan Cashie yang dianggap relate dengan kehidupannya.

Saat jarum jam mendekati angka lima, Cashie mulai merapikan meja kerjanya. Laptop dimasukkan ke dalam tas, berkas-berkas disusun rapi, dan secangkir kopi yang tersisa setengah diletakkan di sudut meja, menunggu pembersih kantor untuk mengurusnya nanti. Dia mengenakan jaket kulit hitam kesayangannya dan meraih helm dari gantungan di dekat pintu.

Keluar dari gedung perkantoran, Cashie disambut oleh angin senja yang sejuk. Suasana Surabaya di sore menjelang malam selalu memberikan sedikit rasa damai di tengah kesibukan hari. 

Ia berjalan menuju parkiran, tempat motornya yang setia menunggu. Helm dipasang, mesin dinyalakan, dan dengan satu gerakan lincah, dia melesat keluar dari parkiran. 

Perjalanan pulang selalu menjadi waktu refleksi bagi Cashie. Jalanan yang padat dengan kendaraan yang berlalu lalang, lampu-lampu kota yang mulai menyala, dan suara klakson yang bersahut-sahutan menjadi simfoni rutin yang menemani pikirannya melayang. Ia merenungkan harinya, tugas-tugas yang telah diselesaikan, dan tantangan yang menanti esok.

Klik.

Pintu kamar kos yang menjadi tempat Cashie pulang setiap harinya terbuka, menampilkan sepetak ruangan berwarna putih tulang yang sederhana namun nyaman. Dinding-dindingnya dihiasi dengan beberapa stiker kucing lucu, memberikan sentuhan personal yang menenangkan di tengah kesibukan hariannya. 

LDR : Love, Deadline, RepeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang