Langkah kakinya terasa berat. Dia kemudian memutuskan untuk berhenti sejenak sambil membuang napas melalui mulutnya. Gadis itu kemudian melanjutkan langkah kakinya memasuki sebuah kafe yang menjadi tempat di mana dia bersedia menemui kekasih yang mungkin sebentar lagi akan menjadi mantan.
Baru masuk ke dalam kafe, matanya langsung menemukan pria yang tadi pagi memintanya untuk meluangkan waktu barang sejenak saja. Meski dia belum ingin berbicara dengan pria tersebut tapi desakan dari Rora akhirnya berhasil melunturkan niatnya untuk mengulur waktu.
"Lebih cepat lebih baik. Lo berhak hidup dengan tenang dan juga bahagia."
Setidaknya Kirania masih ingat betul dengan kalimat yang dilontarkan oleh Rora siang tadi. Dia tak berkedip melihat Harsa yang kini berdiri dan melemparkan senyum manis ke arahnya. Senyuman yang tidak bisa lagi membuat perasaannya membaik. Kirania tidak membalas senyum itu sedikit pun. Dia hanya berjalan menuju ke arah Harsa tanpa beban.
Sampai akhirnya mereka berdua saling berhadapan, Kirania masih tetap mempertahankan ekspresi wajahnya. Dia duduk tanpa menunggu Harsa mempersilakan dirinya. Melihat Harsa yang nampak baik-baik saja membuatnya sadar kalau pria itu memang tidak perlu mendapatkan perhatiannya lagi.
"Lo mau ngomong apa?" tanya Kirania dengan nada santai.
Dia bisa melihat wajah Harsa yang terlihat kaget karena cara berbicaranya yang berbeda dari sebelumnya. Namun sesaat kemudian pria itu tersenyum kembali dan semua kerutan di dahinya hilang begitu saja.
"Aku tahu kalau kamu pasti marah banget sama aku." Harsa memulai kalimatnya.
Kirania berusaha tenang meski sebenarnya dia ingin memaki pria yang tega mempermainkan komitmen mereka itu. "Terus?" Gadis itu bersedekap.
"Eumm..." Harsa terlihat celingukan seperti mencari seseorang. "Kamu mau pesan minum apa? Biar aku yang pesan."
Kirania menggelengkan kepala dengan cepat. "Gue nggak bisa lama di sini. Habis dari sini mau pergi makan sama Cakra," jawabnya berbohong.
Wajah Harsa kini terlihat kaku. Bibirnya mengatup rapat dengan sorot mata tajam mengarah langsung ke wajah cantik Kirania. Harsa diam dan memandang netra gadis yang sampai detik ini masih selalu mengisi pikirannya itu.
"Gue kasih waktu..." Kirania melihat ke arah jam tangan sambil menimbang-nimbang sesuatu. "Eumm..." Dia mendongak. "Sekitar lima belas menit," lanjutnya.
"Ki, kenapa harus makan sama Cakra? Kenapa nggak sama Rora?" Dahi pria itu berkerut dalam.
"Memangnya kenapa? Cakra baik." Hanya itu yang mampu Kirania ucapkan. "Cepetan! Lo mau ngomong apa?" Dia mendesak Harsa karena obrolan mereka sepertinya sudah melenceng dari inti masalah yang hendak disampaikan oleh pria itu sebelumnya.
Harsa membuang napas dengan kasar. Dia terkekeh sambil menyandarkan punggungnya ke belakang. Dia membuang wajah ke arah lain dengan tatapan mata sendu. Jika saja hubungan mereka baik-baik saja, Kirania pasti akan merasa cemas dan bertanya hal apa yang mengusik pikiran pria itu.
"Namanya Nania," suara Harsa sangat lirih.
Kirania menghela napas jengkel. "Bisa lebih keras ngomongnya? Suara lo kalah sama musik di sini," katanya.
Harsa menegakkan tubuhnya dan kembali menatap mata Kirania dan kali ini lebih dalam dari sebelumnya. "Dia mantan pacarku. Lima tahun," ucapnya.
Kirania menelan ludah pelan dengan tangan yang meremas kursi di bawahnya. "Oh." Dia mengangguk-angguk seolah-olah apa yang diucapkan oleh Harsa adalah hal yang biasa baginya.
"Dia hamil dan aku baru tahu waktu kita berdua udah resmi pacaran." Pria itu kini terlihat menyesal. "Dan aku mau minta maaf karena aku udah nggak jujur sama kamu tentang keadaan ini. Selama ini aku sering pergi ninggalin kamu atau aku bilang sibuk karena aku harus nganterin dia periksa kandungan dan lain sebagainya." Dia kemudian menunduk dalam.
Kirania mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa lo nggak bilang dari saat lo tahu kalau dia hamil?" tanya gadis itu dengan nada tak suka.
"Karena aku butuh waktu buat bujuk Nania tes DNA. Selain itu ada satu sisi hatiku yang nggak rela kalau kita putus," jawab Harsa dengan lancar.
"Maksud lo?" Kirania menatap tajam pria di hadapannya itu.
"Kami putus karena dia ketahuan tidur sama cowok lain. Aku cuma mau mastiin aja kalau anak itu beneran anak kandungku." Harsa menunduk dalam.
"Terus?" Kirania menelan ludah pelan sambil menyiapkan hatinya.
"Hasilnya keluar waktu kamu pulang ke rumahmu. Anak di perut Nania adalah anakku," jawab pria itu dengan suara lirih.
Kirania mengepalkan tangan kanannya sambil mengeratkan rahang. Dia mencoba mencerna semuanya dengan baik meski dadanya terasa sesak. Dia masih tidak menyangka kalau Harsa tega berbohong padanya. Kirania mendengus dengan keras sambil mengangguk paham.
"Wah! Lo hebat banget bisa bohongin gue dan bikin gue feeling lonely berkali-kali. Tapi gue bersyukur karena akhirnya masalah kalian udah menemui titik terang. Seenggaknya hubungan kita belum terlalu jauh." Dia menoleh dan melihat dua sejoli yang sedang tertawa bersama.
"Maaf, Ki," ucap Harsa dengan nada penuh penyesalan. "Aku berani sumpah kalau aku beneran sayang dan cinta sama kamu. Aku beneran serius menjalani hubungan itu sama kamu. Aku bahkan udah nggak pengen balikan lagi sama Nania sejak ada kamu. Kamu bikin aku bahagia, Ki. Aku nggak bermaksud bohong sama kamu. Aku juga berharap kalau itu bukan anakku kemarin tapi kenyataannya memang dia anakku."
Kirania mengangguk dan membuang napas lega. Dia tidak ingin menyimpan amarahnya. Gadis itu kemudian berdiri sambil membawa tas kerjanya. Hanya kalimat itu yang sebenarnya Kirania tunggu. Dia tidak mau menjadi gadis menyedihkan yang harus menerima fakta kalau dia hanya dijadikan pelampiasan. Nyatanya, Harsa mengakui kalau pria itu cinta dan tidak berniat menyakiti hatinya.
"Gue harus pergi sekarang." Dia memperhatikan wajah sedih Harsa.
Pria itu berdiri dan menatap wajah Kirania dengan mata mendungnya. "Kita..." Harsa menelan ludah pelan. "Beneran selesai?" tanyanya dengan nada ragu.
Kirania terkekeh pelan. "Hm!" Dia mengangguk. "Jangan bikin gue kecewa lagi dengan cara lari dari tanggung jawab, Sa!" katanya.
Mata pria itu berembun. Seketika bibir Kirania tertutup rapat dengan mata yang hanya tertuju pada wajah itu. Harsa mengusap tengkuknya yang tidak gatal sambil mengalihkan perhatian meski Kirania tahu bahwa tujuannya adalah supaya Kirania tidak melihat air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata pria itu.
"Bahagia selalu, ya, Sa. Lo salah satu orang baik yang pernah gue kenal. Meski akhirnya kita nggak sama-sama tapi gue cukup lega karena lo tetap jadi manusia baik yang nggak lari dari tanggung jawab. Jaga diri baik-baik. Gue pergi, ya!" Kirania mengulas senyum manis dan berjalan meninggalkan Harsa yang termenung di tempatnya berdiri.
Dia menatap punggung gadis yang bahkan sampai sekarang posisinya tidak berubah di hatinya. Sampai Kirania tak lagi terlihat, Harsa baru kembali duduk dengan wajah yang sangat muram.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
RomanceKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...