Tidak sengaja aku tertidur di sofa ruang keluarga dengan tv yang masih menyala. Aku merasakan sesuatu membelai rambutku, lalu berangsur menyentuh pipiku, dan berakhir dengan sebuah kecupan yang mendarat tepat di keningku.
Aku pun membuka mata, sudah tertebak siapa yang melakukannya.
"Kamu kebangun?" Tanya mas Ratan merasa sedikit bersalah.
"Mas Ratan?" Ucapku sembari berusaha membuka mata dan memfokuskan pandangan.
Mas Ratan menyodorkan sebuah buket bunga tulip dan beberapa paperbag yang entah apa isinya.
"Wah!! Cantik banget." Kagumku dengan hadiah yang dia bawakan. Aku cukup puas.
"Bunga tulip lagi mekar indah banget di New York. Kamu pasti bakal seneng banget kalau bisa lihat juga."
Dia pasti sengaja membicarakannya untuk membuatku iri.
"Kenapa kamu enggak bawain bunga tulip asli dari New York aja?"
"Enggak bisa lah. Nanti di sita sama pihak beacukai."
"Kamu enggak ada niatan ngajak aku kesana?" Ucapku dengan nada serius karena aku berhasil merasa iri.
"Pengen banget malah. Nanti kalau aku udah ada libur kerja kita pergi ke Turki. Bunga tulip disana lebih cantik. Kita bisa kencan, makan, wisata, belanja dan apapun yang kamu mau." Ucap mas Ratan meyakinkanku.
"Janji?" Aku menyodorkan jari kelingkingku.
"Janji!" Mas Ratan pun membalasnya dengan melingkarkan jari kelingkingnya di jari kelingkingku.
Mendengarnya berbicara manis seperti itu sungguh sangat menggerakkan hatiku. Aku pun tersenyum bahagia mendengar ucapannya.
"Kamu udah makan?" Tanyaku.
"Udah tadi. Makan di restoran sama pak supir, sama Kim juga." Jawab mas Ratan sembari melonggarkan dasinya dan mulai melepaskan jas yang ia kenakan.
Aku pun beranjak pergi mengambil vas bunga untuk menempatkan bunga tulip yang baru saja aku dapatkan. Aku bermaksud menjaganya agar tetap segar.
Saat aku kembali ke ruang keluarga, mas Ratan entah pergi kemana. Tetapi jasnya dan barang barang lainnya masih tertinggal di sofa. Tiba tiba terpikirkan olehku untuk melihat lihat jas yang tergeletak di sofa itu. Setelah menaruh vas bunga di meja, aku mengambil jas itu tanpa ragu.
Aku melihat seperti ada debu yang terpampang samar di bagian depan jas berwarna biru gelap itu. Tetapi setelah aku pandangi lebih lama, sepertinya itu bukan debu tapi bedak. Karena itu tidak menyebar, hanya berada di satu titik. Sepertinya mas Ratan sempat berpelukan dengan wanita yang aku dengar di telepon tempo hari, atau mungkin bukan hanya sekedar pelukan.
Aku mulai mengendus bau jasnya. Benar saja, tersibak bau parfum yang bukan miliknya. Meskipun tidak tercium begitu jelas, tapi aku tahu pasti itu.
"Sayang? Kamu ngapain?" Ucap mas Ratan yang tiba tiba berada dibelakangku.
"Bau! Dasi kamu juga. Kamu kerjanya di gym apa gimana? Aku cuci dulu ya." Aku mencoba berlagak senatural mungkin.
Berakting adalah kemampuanku yang tersembunyi. Mungkin aku bisa lolos audisi aktris FTV. Aku pun beranjak pergi menuju ke ruang cuci. Untuk menghindari suasana tegang.
"Sayang!" Mas Ratan menahan tanganku.
"Hmm?" Langkahku terhenti.
"Udah itu besok aja biar mbak Yah yang urus. Kemarin dia laporan kalau kamu nyuruh dia pulang lebih awal. Kenapa? Kamu udah enggak nyaman sama mbak Yah?" Tanya mas Ratan dengan nada serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi Bersama Hujan
RomanceTak semua yang kita tahu harus diutarakan. Kadang malah memilih untuk memendam padahal tahu rasanya sesakit apa, karena akan lebih sakit jika diungkapkan. Diam juga merupakan sebuah cara, bahkan ada yang bilang bahwa diam adalah emas. Kalau begitu a...